Berani Bicara Lewat Warna, Pelukis Otodidak Ramaikan Regenerasi Seni Rupa Jogja
Kehadiran pelukis otodidak dalam pameran seni bertajuk The Language of Colour menjadi sinyal kuat bahwa regenerasi seniman di Kota Yogyakarta terus bergerak dinamis.
YOGYAKARTA Kehadiran pelukis otodidak dalam pameran seni bertajuk The Language of Colour menjadi sinyal kuat bahwa regenerasi seniman di Kota Yogyakarta terus bergerak dinamis. Pameran yang digelar oleh Komunitas Patsijiwata ini tak hanya menampilkan karya seni, tetapi juga membuka ruang pengakuan bagi para perupa yang tumbuh dari proses belajar mandiri.
Pameran The Language of Colour resmi dibuka di Omah Budoyo Yogyakarta, Jumat (12/12/2025) malam, dan akan berlangsung hingga 12 Januari 2026. Wakil Wali Kota Yogyakarta, Wawan Harmawan, hadir langsung dalam pembukaan dan memberikan apresiasi tinggi atas keberanian para seniman dalam mengekspresikan gagasan melalui warna dan goresan kanvas.
Menurut Wawan, pameran ini membuktikan bahwa jalur otodidak bukanlah hambatan untuk melahirkan karya seni berkualitas. Justru, keberanian para pelukis untuk berbicara lewat warna menjadi nilai lebih yang patut dirayakan bersama.
“Walaupun mereka otodidak, ternyata punya keberanian besar dalam menuangkan warna di atas kanvas. Itu luar biasa dan harus kita apresiasi,” ujar Wawan Harmawan saat ditemui di lokasi pameran.
Enam Pelukis, Enam Karakter, Satu Ruang Ekspresi
Pameran ini menghadirkan enam pelukis dengan latar belakang dan gaya yang beragam, yakni Astuti Kusumo, Dwipo Hadi, Febritayustiani, Indira Bunyamin, Retno Aris, dan Yulita. Masing-masing karya menampilkan karakter visual yang berbeda, mulai dari permainan warna yang ekspresif hingga pendekatan personal yang reflektif.
Wawan menilai keberagaman ini menjadi kekuatan utama pameran. Ia berharap, ruang-ruang seperti ini terus diperluas agar seniman muda dan pelukis otodidak semakin percaya diri menampilkan karya mereka ke publik.
“Ke depan, tentu kita ingin semakin banyak ruang berkarya dan pembinaan yang berkelanjutan. Generasi muda harus dirangkul agar seni rupa Jogja terus tumbuh,” ungkapnya.
Ia pun memberikan semangat kepada para seniman agar terus berkarya dan tidak berhenti bereksplorasi. “Semangat terus untuk berkarya lebih baik lagi. Selamat atas terselenggaranya pameran ini,” tambah Wawan.
Apresiasi Publik Jadi Energi Seniman Jogja
Sementara itu, Kurator Komunitas Patsijiwata, Dwipo Hadi, menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung terselenggaranya pameran The Language of Colour. Menurutnya, antusiasme masyarakat terhadap seni di Yogyakarta selalu menjadi energi positif bagi para perupa.
“Jogja memang istimewa. Setiap karya seni yang dipamerkan di mana pun, hampir selalu mendapatkan apresiasi yang sangat baik dari masyarakat,” ujar Dwipo.
Ia juga menyoroti proses kurasi yang mempertemukan berbagai karakter seniman dalam satu ruang pamer. Perbedaan gaya dan pendekatan artistik justru menciptakan dialog visual yang menarik dan memperkaya pengalaman pengunjung.
“Ketika saya mengkurasi karya dari satu seniman ke seniman lain, masing-masing punya karakter sendiri. Semakin berbeda, justru semakin menarik ketika disatukan dalam satu kelompok,” jelasnya.
Dorong Ruang Pamer, Hidupkan Atmosfer Seni Jogja
Dwipo berharap, pameran ini menjadi pemantik semangat bagi para seniman untuk terus berkarya dan memperbanyak agenda pameran di berbagai ruang seni. Menurutnya, semakin banyak ruang ekspresi yang terbuka, semakin hidup pula atmosfer seni rupa di Kota Yogyakarta.
“Semoga teman-teman seniman terus berjuang menghasilkan karya dan mengadakan pameran. Dengan begitu, Jogja akan semakin meriah dan kaya oleh seni,” pungkasnya.
Pameran The Language of Colour tak sekadar menghadirkan lukisan, tetapi juga menjadi panggung regenerasi, keberanian, dan perayaan kreativitas seniman otodidak. Dari Omah Budoyo Yogyakarta, bahasa warna berbicara lantang tentang masa depan seni rupa Jogja yang inklusif dan penuh harapan. (*)
Apa Reaksi Anda?