Kemenag Dorong Era Baru Transformasi Pesantren, Santri Ditarget Lebih Mandiri dan Kompetitif

Kemenag dorong transformasi 42.000 pesantren melalui penguatan kelembagaan dan digitalisasi. Pertahankan tradisi kitab kuning siapkan santri kompetitif di tingkat global.

November 27, 2025 - 13:00
Kemenag Dorong Era Baru Transformasi Pesantren, Santri Ditarget Lebih Mandiri dan Kompetitif

MAKASSAR Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan pentingnya transformasi tata kelola pesantren sebagai agenda strategis nasional. Penegasan tersebut disampaikan Direktur Pesantren, Basnang Said, dalam Halaqah Penguatan Kelembagaan Pendirian Direktorat Jenderal Pesantren (Ditjen Pesantren) bertema “Transformasi Pendidikan Pesantren”, yang berlangsung di UIN Alauddin Makassar, Rabu (26/11/2025) kemarin.

Kegiatan yang dihadiri puluhan pimpinan pesantren dan akademisi dengan menghadirkan dua narasumber yakni Prof. Dr. K.H. Hamzah Harun Ar-Rasyid selaku Pimpinan PPTQ Halaqah Hafizhah dan Ketua Tanfidziyah PWNU Sulawesi Selatan dan Dr. Hj. Nurfadjri Fadeli Luran, M.Pd selaku Ketua Umum Yasdic IMMIM.

Dalam sambutannya, Basnang Said menegaskan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Nusantara. “Pesantren sudah ada sejak abad ke-14, jauh sebelum Belanda datang dengan sistem sekolah modern,” ujarnya dalam keterangan pers yang diterima TIMES Indonesia, Kamis (27/11/2025) pagi. 

Ia mengingatkan bahwa perjalanan panjang pesantren juga mencatat masa ketika lembaga ini terpinggirkan oleh modernisasi kolonial. Momentum kebangkitan kembali diperkuat melalui Program PBSB era Menteri Agama M. Maftuh Basyuni yang mendorong santri tampil sebagai lulusan terbaik di berbagai perguruan tinggi ternama.

Kemenag-Dorong-Era-Baru-Transformasi-Pesantren-b.jpgKegiatan Halaqah Penguatan Kelembagaan Pendirian Ditjen Pesantren Kemenag di Makassar. (FOTO: dok. Kemenag)

Basnang turut menyoroti evolusi pengakuan negara terhadap pesantren, mulai dari program kesetaraan pada masa Presiden Gus Dur, penetapan Hari Santri oleh Presiden Joko Widodo, hingga lahirnya UU No. 18/2019 tentang Pesantren. “Undang-undang itu menguatkan martabat pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional,” tegasnya.

Meski demikian, ia menyoroti tantangan baru yang muncul, terutama hilangnya kajian kitab-kitab klasik seperti balaghah, mantik, dan arudh pada beberapa pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan formal. Kemenag, katanya, telah menyiapkan langkah sistematis untuk mengembalikan kekuatan tradisi keilmuan pesantren.

Hamzah Harun Ar-Rasyid menekankan bahwa pendidikan pesantren berakar pada pembentukan karakter yang berkesadaran spiritual. “Santri harus merasa selalu dalam pengawasan Allah. Jika itu tertanam, maka seorang santri tidak akan mungkin berkhianat, meskipun nanti ia menjadi rektor atau menteri,” ujarnya.

Ia menguraikan enam pilar pendidikan menurut Imam Syafi’i—kecerdasan, semangat, kesungguhan, kecukupan ekonomi, kedekatan dengan guru, dan ketekunan waktu—namun menegaskan bahwa kebutuhan zaman menuntut lebih. “Pesantren harus masuk ke dunia digital, memperkuat ekonomi, dan membangun jejaring global,” tambahnya.

Prof. Hamzah mencontohkan keberhasilan muadalah As’adiyah yang diakui pemerintah Mesir dan terbukanya peluang pertukaran dosen serta mahasiswa melalui kerja sama internasional.

Sementara itu, Nurfadjri Fadeli Luran menegaskan bahwa transformasi manajemen pesantren kini menjadi kebutuhan mendesak. Dari total 42.000 pesantren dengan 6 juta santri, sebagian besar masih bertahan dengan pola pengelolaan tradisional sehingga sulit berkompetisi di tengah percepatan digital.

Ia menjelaskan perbedaan antara model pesantren tradisional dan pesantren modern, mulai dari struktur organisasi, adopsi teknologi, hingga tata kelola keuangan. “Transformasi bukan berarti menghapus tradisi. Keikhlasan, keberkahan, dan kejujuran tetap menjadi ruh pesantren. Yang berubah adalah kualitas tata kelolanya,” ujar Nurfadjri.

Transformasi menurutnya meliputi tiga dimensi, Struktur (penguatan organisasi dan kepemimpinan), Proses (penyusunan SOP, digitalisasi layanan, dan transparansi keuangan, serta Budaya (penguatan asrama sesuai UU Pesantren serta kolaborasi dengan alumni dan mitra global).

Halaqah ini menjadi ruang strategis untuk merumuskan arah baru transformasi pesantren Indonesia. Diskusi para pimpinan pesantren menegaskan bahwa perubahan tidak lagi dapat ditunda. Pesantren harus memastikan santri tidak hanya kuat secara spiritual, tetapi juga kompetitif di tingkat nasional maupun global.

Menutup acara, Basnang Said menyampaikan pesan tegas bahwa pesantren harus tetap kokoh pada tradisi, tetapi tidak boleh berjalan mundur dari zaman. “Inilah saatnya pesantren menjadi pusat lahirnya pemimpin bangsa yang berilmu, berakhlak, dan berdaya saing,” tandasnya. (*)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow