Kondisi TPA Bondowoso Memprihatinkan, Dokter Lingkungan Temukan Formula Pupuk Organik
Kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Paguan di Kecamatan Tamankrocok, Kabupaten Bondowoso semakin mengkhawatirkan.
BONDOWOSO Kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Paguan di Kecamatan Tamankrocok, Kabupaten Bondowoso semakin mengkhawatirkan. Volume sampah yang terus menumpuk, ditambah asap yang tak kunjung padam sejak kebakaran pada 24 Oktober 2021, membuat area seluas 1,5 hektare itu berada dalam status darurat lingkungan.
Dari informasi yang dihimpun, sekitar 1,2 hektare lahan TPA telah tertutup tumpukan sampah setinggi enam meter. Setiap hari, tak kurang dari 60 ton sampah baru dikirim dan ditambahkan ke gunungan tersebut.
Kondisi ini diperparah karena sistem pengelolaan di Paguan masih memakai metode open dumping, cara paling sederhana yang tidak ramah lingkungan dan rentan memicu gas metana.
Gas metana inilah yang diduga menjadi penyebab kebakaran besar pada 2021 lalu. Sejak kejadian itu, asap tipis terus keluar dari sela-sela tumpukan sampah dan belum bisa dipadamkan meski sudah berkali-kali dilakukan penyiraman air.
Melihat kondisi TPA yang kian kritis, sejumlah pegiat lingkungan mencoba melakukan terobosan untuk mengurangi volume sampah. Salah satunya adalah dokter sekaligus pemerhati lingkungan, dr. Rasmono, M.MKes, melakukan penelitian mandiri selama setahun terakhir.
Rasmono mengolah sampah organik di TPA Paguan menjadi pupuk organik menggunakan cairan fermentasi berbahan dasar kencing sapi yang telah dicampur mikroba lokal.
Proses awal dilakukan dengan mengambil sampah organik yang sudah setengah terurai untuk kemudian diperkaya nutrisi.
“Setelah diambil, sampah kami semprot dengan pupuk organik cair dan kemudian difermentasi selama tujuh hari. Proses ini kami lakukan saat musim kemarau agar sampah bisa diayak,” jelasnya.
Penelitian tersebut ia biayai sendiri, termasuk uji laboratorium yang dilakukan di Malang. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa sampah terolah dari TPA Paguan memiliki kandungan nutrisi yang sangat baik untuk dijadikan pupuk organik.
Beberapa kandungan yang tercatat antara lain kadar organik 5,03%; kadar air 24,55%; nitrogen (N) 3,37%; P₂O₅ 0,73%; K₂O 0,59%; Natrium (Na) 0,51%; pH 8,2%; dan Bahan ikutan (plastik, kerikil, kaca) 0,3%.
“Komposisi ini memenuhi standar nutrisi pupuk organik menurut Keputusan Menteri Pertanian RI Tahun 2019. Minimal hara makro harus dua persen dan pH berada di rentang empat sampai sembilan,” ungkapnya, Selasa (9/12/2025).
Ia menambahkan, mikroba lokal untuk fermentasi dapat dikembangkan dari berbagai tanaman seperti akar pepaya, bambu, dan kelor, dengan proses pengembangan bakteri selama 21 hari.
Menurut Rasmono, metode serupa sebenarnya pernah diterapkan oleh sebuah perusahaan sekitar tahun 2010–2015. Namun, ia tidak mengetahui alasan program tersebut tidak berlanjut.
Kini, ia berharap upaya kecil yang ia lakukan dapat menjadi pintu masuk bagi pemerintah daerah untuk mengadopsi metode pengolahan sampah organik menjadi pupuk secara lebih serius dan terstruktur.
“Kalau pemerintah ingin menindaklanjuti, saya dengan senang hati akan memberikan resep atau formulanya. Yang penting digunakan dan dikembangkan,” tegasnya.(*)
Apa Reaksi Anda?