Ning Marisa Warnai Keceriaan Anak di Alun-alun Kota Kraksaan
Ia duduk di antara kerumunan ibu dan anak. Tak di podium, tak di belakang mikrofon. Tapi di dekat krayon, dekat suara-suara polos yang belum mengenal diksi birokrasi. Di sanalah Ning Marisa Juwitasari…

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Ia duduk di antara kerumunan ibu dan anak. Tak di podium, tak di belakang mikrofon. Tapi di dekat krayon, dekat suara-suara polos yang belum mengenal diksi birokrasi. Di sanalah Ning Marisa Juwitasari Moh. Haris, Ketua TP PKK Kabupaten Probolinggo, membaur tanpa jarak, tanpa simbol formalitas.
Tangannya pelan, memegang krayon oranye. Mengisi bidang kosong pada kertas mewarnai seolah ia sedang menorehkan harapan. Bukan sekadar untuk anak-anak yang duduk di sekelilingnya, tapi untuk seluruh generasi Probolinggo yang masih belajar mengucap mimpi.
Pagi itu, Rabu (7/5/2025), alun-alun Kota Kraksaan bukan sekadar ruang publik. Ia berubah menjadi pelataran masa depan, tempat lebih dari 4.800 anak dari PAUD formal dan nonformal mengikuti lomba mewarnai Mamamia. Tak jauh dari mereka, 48 kelompok ibu berlomba mencipta menu gizi balita. Bukan untuk menang, tapi untuk merawat.
Di tengah kesibukan itu, Ning Marisa tidak hanya hadir. Ia ikut bermain, ikut menekuri lembar gambar, ikut tertawa kecil bersama para ibu. Ia menyadari, bahwa pendidikan dan kesehatan anak tidak bisa hanya diserahkan pada sistem. Harus disentuh. Harus dirasa.
"Ini bukan sekadar lomba," ujarnya, "tapi ajang silaturahmi, tempat berbagi pengalaman antar orang tua dan pendidik." Kata-kata yang sederhana, namun diucapkan dengan mata yang paham betapa rapuhnya masa depan jika tidak dipelihara dari sekarang.
Kegiatan ini digelar dalam rangka peringatan Hari Jadi Kabupaten Probolinggo (Harjakapro) ke-279, Hari Pendidikan Nasional, dan Hari Anak Nasional. Kepala Disdikdaya Kabupaten Probolinggo, Dwijoko Nurjayadi, mengatakan ini sebagai awal dari serangkaian perayaan. Tapi lebih dari itu, baginya ini adalah cermin komitmen, terhadap pendidikan inklusif, terhadap gizi, terhadap kolaborasi.
"Ini momentum menyatukan orang tua, guru, dan pemerintah. Menyemai benih generasi emas," tegas Dwijoko.
Di sela semua angka, laporan, dan struktur acara, ada satu pemandangan yang tak tertulis dalam naskah pidato. Seorang perempuan berjilbab hitam, tersenyum lembut, memegang krayon, memberi warna. Barangkali di situlah esensi sebenarnya. Pemimpin yang tak hanya bicara, tapi ikut duduk, ikut menggambar.
Karena terkadang, perubahan besar justru lahir dari tangan-tangan yang bersedia mengotori diri dengan warna-warna kecil.(*)
Apa Reaksi Anda?






