Final Liga Europa: Pertaruhan Harga Diri Manchester United dan Tottenham di San Mamés – Peluang Setan Merah Raih Trofi Penebus Musim

Final Liga Europa 2024/25 pertemukan Manchester United vs Tottenham di Bilbao. Dua raksasa Inggris bertarung demi trofi, tiket UCL, dan penyelamatan musim.

Mei 14, 2025 - 18:08
Final Liga Europa: Pertaruhan Harga Diri Manchester United dan Tottenham di San Mamés – Peluang Setan Merah Raih Trofi Penebus Musim
source: AP Photo/Dave Thompson

TIMES Network – dir="ltr">Final UEFA Europa League musim 2024-2025 akan menyajikan pertarungan sengit antara dua raksasa Inggris yang tengah terluka, Manchester United dan Tottenham Hotspur.1 Pertandingan puncak ini dijadwalkan berlangsung di San Mamés Stadium, Bilbao, Spanyol, pada Rabu, 21 Mei 2025, pukul 21:00 CET, atau Kamis, 22 Mei 2025, pukul 02:00 WIB.1 Laga ini menandai final ketiga yang mempertemukan dua tim asal Inggris dalam sejarah kompetisi kasta kedua Eropa tersebut.

Bagi kedua kubu, final di Bilbao ini memiliki arti lebih dari sekadar perebutan trofi. Ini adalah kesempatan terakhir untuk menyelamatkan musim domestik mereka yang berjalan sangat mengecewakan. Pemenang laga ini tidak hanya akan mengangkat piala bergengsi, tetapi juga mengamankan satu tiket otomatis ke babak liga Liga Champions UEFA musim 2025-2026, sebuah insentif finansial dan prestise yang sangat signifikan di tengah kesulitan mereka di liga domestik. Tekanan besar juga membayangi kedua manajer, Ruben Amorim di kubu Manchester United dan Ange Postecoglou di pihak Tottenham Hotspur. Performa buruk di liga domestik membuat posisi keduanya disorot, dan trofi Eropa dapat menjadi penyelamat karier sekaligus validasi atas filosofi sepak bola yang mereka usung.

Pertandingan ini bukan sekadar final Eropa biasa; ini adalah duel dua tim elite yang sama-sama terpuruk di kompetisi domestik masing-masing. Manchester United, misalnya, terlempar ke peringkat 15 atau 16 di klasemen Premier League, sementara Tottenham Hotspur juga bernasib serupa di peringkat 16 atau 17. Kemenangan di final Liga Europa akan menjadi penebusan musim yang gagal, validasi bagi manajer yang berada di bawah tekanan, dan yang terpenting, tiket krusial ke Liga Champions beserta segala keuntungan finansial dan prestisenya. Ini adalah pertaruhan "segalanya atau tidak sama sekali" bagi kedua klub.

Menariknya, final ini akan dihelat di San Mamés, kandang Athletic Bilbao, tim yang baru saja disingkirkan secara telak oleh Manchester United di babak semifinal dengan agregat mencolok 7-1.9 Fakta ini menambah lapisan narasi unik, di mana United akan "kembali" ke stadion yang baru saja mereka taklukkan dengan gagah berani. Bagi publik Bilbao, menjadi tuan rumah final yang tim kesayangannya gagal capai setelah kekalahan telak tersebut tentu menghadirkan perasaan campur aduk, yang berpotensi memengaruhi atmosfer pertandingan, meskipun mungkin tidak signifikan.

Musim 2024-2025 menjadi musim yang penuh ironi bagi Manchester United. Di kancah Premier League, mereka terseok-seok dan menampilkan performa yang jauh dari standar klub sebesar Setan Merah. Hingga Mei 2025, United terdampar di papan bawah, menempati peringkat 15 atau 16 klasemen. Kekalahan menyakitkan 3-4 dari Brentford pada 4 Mei 2025 menjadi kekalahan ke-16 atau ke-17 mereka di liga musim ini, sebuah catatan yang sangat memprihatinkan.

Manajer Ruben Amorim bahkan secara terbuka mengakui bahwa ini bisa menjadi "musim terburuk dalam sejarah Premier League" bagi United, atau bahkan "yang terburuk dalam 50 tahun terakhir," terlepas dari potensi mereka meraih gelar Eropa. Amorim juga mengisyaratkan tekanan yang ia rasakan dengan menyatakan, "jika kita tidak bisa mengubah ini dengan sangat cepat, kita harus memberi ruang kepada orang yang berbeda".

Namun, cerita berbeda 180 derajat tersaji di panggung Liga Europa. Di kompetisi ini, Manchester United seolah menemukan jati diri mereka yang sesungguhnya. Mereka melaju ke final dengan status tak terkalahkan dalam 14 pertandingan, mencatatkan 9 kemenangan dan 5 hasil imbang. Produktivitas gol mereka juga luar biasa, dengan torehan 35 gol sejauh ini, hanya terpaut dua gol dari rekor Porto pada musim 2010/11. Dari jumlah tersebut, 20 gol dicetak pada fase gugur, menunjukkan ketajaman mereka di laga-laga krusial. Perjalanan impresif ke final termasuk kemenangan agregat telak 7-1 atas Athletic Bilbao di semifinal, di mana mereka menang 4-1 di Old Trafford pada leg kedua. Kemenangan dramatis di perempat final melawan Lyon dengan agregat 7-6 setelah perpanjangan waktu juga menjadi salah satu sorotan utama kampanye Eropa mereka.

Secara taktik, Ruben Amorim konsisten menerapkan formasi fleksibel 3-4-3 di Eropa. Sistem ini menekankan pressing tinggi, pemulihan bola cepat, dan transisi kilat ke mode menyerang. Para wing-back, seperti Diogo Dalot dan Patrick Dorgu, didorong sangat tinggi untuk memberikan opsi lebar serangan dan bahkan ancaman gol tambahan. Di jantung permainan, Bruno Fernandes tetap menjadi figur sentral sebagai kapten dan kreator utama serangan. Amorim sendiri mengakui bahwa skuad yang ada saat ini sejatinya dibangun untuk sistem yang berbeda, sehingga beberapa pemain memerlukan adaptasi. Dalam beberapa laga, seperti saat menghadapi Real Sociedad, Manchester United menunjukkan sisi pragmatis dengan membentuk blok pertahanan yang seimbang, mengizinkan lawan menguasai bola namun sulit ditembus, sambil menunggu celah untuk melancarkan serangan balik cepat yang mengandalkan kecepatan para penyerang seperti Rasmus Højlund.

Perbedaan performa yang drastis ini memunculkan pertanyaan fundamental: mengapa sistem 3-4-3 Amorim begitu efektif di Eropa namun rapuh di Premier League? Salah satu hipotesis adalah karakteristik lawan di Liga Europa yang mungkin lebih cocok untuk dieksploitasi oleh sistem Amorim. Intensitas dan organisasi tim-tim Liga Europa dalam menghadapi pressing United mungkin tidak seketat lawan-lawan di Premier League. Selain itu, fokus dan mentalitas pemain bisa jadi berbeda; Liga Europa menjadi pelarian dari tekanan domestik dan satu-satunya harapan meraih trofi musim ini. Format knockout di Liga Europa juga memungkinkan persiapan yang lebih spesifik untuk setiap laga, yang mungkin bisa menutupi inkonsistensi yang terlihat jelas di liga. Implikasinya, kemenangan di final Liga Europa bisa menjadi validasi semu bagi sistem Amorim jika tidak diikuti perbaikan signifikan di kompetisi domestik musim depan, meskipun manajemen klub tampaknya bersedia memberinya waktu dan dukungan di bursa transfer.

Meskipun ada sistem yang coba diterapkan, kesuksesan United di Eropa seringkali juga ditopang oleh momen-momen individual brilian dari pemain seperti Bruno Fernandes, Mason Mount, dan Amad Diallo. Sementara itu, kegagalan di liga mungkin menunjukkan kurangnya kohesi kolektif yang konsisten dalam sistem tersebut. Amorim sendiri mengakui timnya "memiliki banyak kelemahan" dan harus "berjuang" meskipun meraih kemenangan di Liga Europa. Serangan mereka terkadang terlihat lambat dan kurang terstruktur, sementara pertahanan masih sering bocor. Di Liga Europa, di mana tekanan mungkin sedikit berbeda dan lawan tidak sekuat tim-tim papan atas Premier League secara konsisten, kualitas individu pemain kunci lebih mampu bersinar dan menutupi kekurangan struktural. Di Premier League, kekurangan ini lebih sering terekspos. Oleh karena itu, untuk final nanti, United akan sangat bergantung pada para pemain kuncinya untuk menghasilkan momen magis, mengingat konsistensi kolektif mereka masih diragukan berdasarkan performa liga.

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow