Suara Leluhur Nias Kembali Menggema, Dialog “Suara yang Pulang” Hidupkan Warisan Budaya

Acara pada 26 Juli 2025 ini menjadi ruang refleksi sekaligus perayaan atas repatriasi rekaman suara dan dokumentasi budaya Nias yang direkam hampir satu abad lalu.

Juli 27, 2025 - 17:30
Suara Leluhur Nias Kembali Menggema, Dialog “Suara yang Pulang” Hidupkan Warisan Budaya

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Suasana hangat dan sarat makna terasa di Double V Coffee & Eatery, Rawamangun, Jakarta Timur, saat komunitas diaspora Nias, akademisi, dan pemerhati budaya berkumpul dalam dialog interaktif bertajuk “Suara yang Pulang.”

Acara pada 26 Juli 2025 ini menjadi ruang refleksi sekaligus perayaan atas repatriasi rekaman suara dan dokumentasi budaya Nias yang direkam hampir satu abad lalu.

Kegiatan yang digelar Suno Zo’aya Foundation bersama kaum muda BKPN Jemaat Jakarta, PT Inko Dmentec Indonesia, Nafulu Bawömataluo Diaspora, dan Bravely Foundation ini menandai kembalinya rekaman bersejarah yang direkam etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst, pada 1930.

Setelah lebih dari 90 tahun tersimpan di Amsterdam, rekaman itu kini diperdengarkan kembali kepada masyarakat Nias, baik di pulau asal maupun komunitas diaspora di Jabodetabek.

Proyek repatriasi ini digagas oleh Doni Kristian Dachi, pegiat sejarah dan budaya dari Nias Selatan, dengan dukungan Dr. Barbara Titus, Associate Professor of Cultural Musicology dari Universiteit van Amsterdam yang juga kurator koleksi Jaap Kunst.

Suara-Leluhur-Nias.jpgPenampilan grup vokal Hoho Nafulu Bawömataluo Diaspora Nias dalam acara “Suara yang Pulang.”

Barbara telah menyerahkan arsip suara itu secara langsung ke tujuh desa di Nias, termasuk Hilisimaetanö dan Bawömataluo, sepanjang 25 Juni–9 Juli 2025.

Acara dibuka dengan pemutaran rekaman hoho—nyanyian narasi bersahutan khas Nias—lengkap dengan dokumentasi visual perjalanan Jaap Kunst. Suara-suara yang nyaris terlupakan di arsip museum Belanda ini kembali menggema di tengah suasana kekeluargaan.

“Ketika suara leluhur kami terdengar lagi, itu bukan sekadar nostalgia. Ini pengakuan atas identitas dan ikatan batin yang lama terpisah oleh jarak dan waktu,” ujar Doni.

Barbara menambahkan, repatriasi bukan hanya soal pengembalian arsip digital.

“Ini tentang memulihkan rasa memiliki dan hak pengelolaan warisan budaya oleh komunitas sumber. Menyaksikan warga Nias, baik di kampung maupun perantauan, menyambut suara-suara ini dengan bangga membuat saya memandang arsip sebagai sesuatu yang hidup, bukan sekadar benda simpanan,” ujarnya.

Dialog juga diwarnai penampilan grup vokal Hoho Nafulu Bawömataluo Diaspora yang membawakan Mazmur 23 dalam langgam nada leluhur Nias, serta pameran mini dokumentasi proses repatriasi di Nias Selatan.

Penampilan tersebut memperlihatkan bagaimana tradisi lisan dan musik leluhur dapat beradaptasi dalam kehidupan religius dan urban masa kini.

Tokoh diaspora, Disiplin Manaö, menegaskan pentingnya tradisi lisan seperti orahu dan hoho dalam menjaga identitas budaya Nias yang tidak memiliki tradisi tulis.

Suara-Leluhur-Nias-2.jpgDr. Barbara Titus, Associate Professor of Cultural Musicology dari Universiteit van Amsterdam menerima cinderamata dari Barugamuri Dachi berula logo Suno Zoaya dan ukiran orang sedang melakukan hoho.

“‘Suara yang Pulang’ adalah pengingat siapa kita, dari mana kita berasal, dan bagaimana kita harus melanjutkan warisan ini,” katanya.

Dialog juga menghadirkan perspektif akademisi, salah satunya Dr. Widya Fitria Ningsih, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM. Ia menilai repatriasi menjadi langkah penting meluruskan narasi sejarah yang selama ini timpang akibat kolonialisme.

“Memulangkan warisan budaya membuka ruang bagi kelompok yang termarjinalisasi untuk bersuara dan menegaskan identitasnya,” ujarnya, seraya menekankan perlunya dukungan berkelanjutan agar repatriasi tidak berhenti sebatas formalitas.

Acara ditutup dengan penyerahan simbolis salinan digital arsip kepada perwakilan komunitas, termasuk Badan Penghubung Provinsi Sumatera Utara, Nafulu Bawömataluo Diaspora, dan Forum Komunikasi Nihakeriso Ononiha. Panitia juga menyerahkan ukiran khas Bawömataluo sebagai simbol komitmen pelestarian nyanyian hoho.

Dalam suasana doa bersama dan penghormatan kepada leluhur, Barbara Titus menyimpulkan, “Setiap rekaman bukan sekadar relik masa lalu, tetapi suara yang hidup dan berdenyut. Repatriasi ini adalah ajakan untuk mendengar dan menjaga nilai budaya agar tetap lestari.”

Doni Kristian Dachi menutup dengan pesan, “Warisan leluhur adalah sumber inspirasi dan kekuatan. Suara-suara ini harus terus hidup agar menjadi pegangan dan kebanggaan generasi berikutnya.” (*)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow