Kampung Budaya Polowijen: Benteng Warisan Ken Dedes di Tengah Kota Malang
Kampung Budaya Polowijen di Malang jadi ruang hidup budaya lokal. Dari seni topeng hingga jejak Ken Dedes, kampung ini memadukan tradisi dan kreativitas anak muda.

TIMESINDONESIA, MALANG – Di tengah modernisasi Kota Malang yang kian pesat, Kampung Budaya Polowijen hadir bak oase yang merawat akar budaya Jawa. Berlokasi di Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, kampung ini bukan sekadar tempat tinggal, tapi juga menjadi ruang kolektif tempat sejarah, seni, dan identitas lokal tumbuh berdampingan.
Kontributor TIMES Indonesia, Nindya Rahma, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unmer Malang, melaporkan jejak sejarah kampung ini erat kaitannya dengan sosok Ken Dedes, perempuan agung dalam kisah berdirinya Kerajaan Singhasari.
Warga setempat meyakini, tanah Polowijen adalah salah satu titik penting dalam perjalanan hidup Ken Dedes. Cerita itu tak berhenti jadi dongeng belaka, tetapi hidup dalam berbagai ekspresi budaya: dari seni topeng Malangan, pertunjukan tari, musik tradisional, hingga ritual-ritual budaya yang diwariskan lintas generasi.
Begitu menapakkan kaki di kampung ini, atmosfer berbeda langsung terasa. Dinding-dinding rumah dihiasi mural berwarna dengan tema-topeng dan legenda Ken Dedes. Jalan-jalan sempit diwarnai ornamen tradisional, menciptakan suasana hangat dan penuh seni. Tapi yang paling ikonik dari Polowijen adalah seni Topeng Malangan, yang tak hanya menjadi simbol kampung, tetapi juga identitas budaya Malang itu sendiri.
Kampung ini tak hanya memajang hasil karya seni. Pengunjung bisa menyaksikan langsung proses pembuatan topeng—dari pemilihan kayu, pemahatan, hingga pewarnaan ekspresi khas wajah topeng Malangan. Bahkan, pengunjung bisa ikut serta dalam workshop singkat membuat topeng, menjadikan pengalaman budaya yang tak terlupakan.
“Banyak yang bilang budaya itu membosankan. Tapi kami mau bikin budaya jadi seru dan dekat dengan anak muda,” kata Andi Arif, tokoh sentral di balik pengembangan Kampung Budaya Polowijen.
Ia merupakan penggerak komunitas seni yang berhasil menyulap kawasan ini menjadi ruang edukasi sekaligus destinasi wisata budaya.
Setiap minggunya, kampung ini menggelar kegiatan seni rutin. Dari latihan tari, tabuhan gamelan, hingga pertunjukan kecil di pelataran rumah warga. Semuanya dilakukan secara gotong royong, melibatkan anak-anak hingga lansia. Kampung ini hidup, bukan hanya dalam arti fisik, tapi juga secara spiritual dan kultural.
Kampung Budaya Polowijen juga kerap dilirik wisatawan, pelajar, hingga konten kreator. Banyak sekolah dan komunitas datang untuk belajar langsung tentang seni topeng, tari, hingga sejarah Ken Dedes. Bahkan, karya seni dari kampung ini kerap tampil dalam ajang budaya tingkat kota hingga nasional. Beberapa topeng bahkan menjadi koleksi pribadi para pecinta seni tradisional.
Andi Arif menyadari bahwa menjaga budaya di era digital tak bisa lagi hanya mengandalkan cara lama. Ia dan timnya mulai memanfaatkan media sosial—seperti Instagram dan YouTube—untuk menyebarkan pesan bahwa budaya itu keren, dekat, dan bisa dinikmati siapa saja.
Tantangan tetap ada. Selain soal pendanaan, tantangan terbesarnya adalah bagaimana membuat generasi muda merasa memiliki dan peduli. Namun berkat semangat kolektif dan visi yang kuat, Kampung Budaya Polowijen menjelma sebagai benteng budaya di tengah arus globalisasi yang kadang menenggelamkan jati diri lokal.
Ketika kampung-kampung lain kehilangan identitasnya karena modernisasi, Polowijen justru berdiri tegak, menjaga warisan leluhur dengan semangat zaman kini. Di sini, tradisi bukan sekadar nostalgia, tapi jalan hidup yang terus dihidupkan. (*)
Apa Reaksi Anda?






