Dari Melihat Bentuk ke Berpikir Bukti: Mengenali Level 0 sampai 4 di Kelas Geometri
“Gagasan tumbuh lewat draf, bukan sekali jadi. Dengan peta dan rambu ini, kelas geometri tidak lagi sekadar ruang menggambar. Ia menjadi bengkel membangun bangun dan membangun cara berpikir, dari leve
MALANG “Gagasan tumbuh lewat draf, bukan sekali jadi. Dengan peta dan rambu ini, kelas geometri tidak lagi sekadar ruang menggambar. Ia menjadi bengkel membangun bangun dan membangun cara berpikir, dari level 0 sampai 4, satu alasan demi satu alasan.”
Mengajar geometri sering terasa seperti mengajak siswa berjalan di taman yang sama, tetapi dengan kacamata yang berbeda. Ada yang melihat “ini kelihatan persegi”, ada yang bertanya “apa sifat yang membuatnya persegi”, dan ada pula yang sudah sibuk menata alasan “jika maka” untuk membangun bukti. Teori tingkat berpikir van Hiele membantu kita membaca peta ini. Intinya sederhana: cara siswa memandang bangun berkembang bertahap, dan bahasa serta pengalaman belajar menjadi tangga yang mengantar mereka naik. Jika kita mengajar di anak tangga yang tidak mereka pijak, kelas mudah macet. Van Hiele menjelaskan kerangka ini secara klasik dalam Structure and Insight terbitan 1986.
Level 0 Visualisasi.
Di sini siswa mengenali bangun dari tampilannya. “Ini persegi karena kelihatan seperti jendela.” Ciri di kelas: sangat peka pada orientasi dan ukuran. Jika persegi diputar, ia bisa dinyatakan “bukan persegi”. Yang menolong: banyak contoh dan noncontoh yang sengaja diputar, dibesarkan, atau diperkecil, disertai pertanyaan ringan seperti “bagian mana yang membuatmu yakin ini tetap persegi”. Tujuannya menajamkan mata agar tidak tertipu tampilan.
Level 1 Analisis.
Siswa mulai menyebut sifat. “Persegi punya empat sisi sama panjang, sudutnya siku siku.” Namun sifat masih dideretkan, belum terhubung. Di kertas tampak daftar ciri, tetapi jarang ada kalimat yang menghubungkan sifat satu dengan yang lain. Intervensi efektif: tugas yang meminta mengelompokkan bangun berdasarkan satu sifat lalu mempertahankan klasifikasi dengan alasan. Di tahap ini, penggaris, busur, dan alat ukur bukan sekadar alat gambar, melainkan alat bahasa untuk menyebut sifat dengan tepat.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Level 2 Deduksi informal.
Siswa mulai melihat hubungan antar sifat dan antar kelas. “Jika semua sisi sama panjang dan semua sudut siku, maka bangun itu sekaligus belah ketupat dan persegi panjang, jadi ia persegi.” Ciri di kelas: kalimat “jika maka” mulai muncul, definisi mulai dipakai fungsional, dan siswa mampu membuktikan pernyataan sederhana dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan walau belum sangat formal. Aktivitas yang kuat di sini adalah membandingkan dua cara berbeda untuk menyimpulkan sifat yang sama, lalu merangkum “apa yang tetap” pada keduanya.
Level 3 Deduksi formal.
Rantai alasan makin rapi. Siswa bekerja dengan teorema, definisi, dan postulat sebagai batu pijak. Mereka dapat merencanakan bukti, memilih teorema yang relevan, dan memeriksa keabsahan langkah. Ciri di kelas: diagram menjadi pendukung, bukan penentu tunggal. Diskusi bisa berangkat dari “asumsikan ABCD adalah persegi panjang” lalu bergerak ke implikasi yang sistematis. Peran guru berubah menjadi dirigen yang mengatur orkestra alasan agar tidak keluar jalur.
Level 4 Rigor.
Siswa membandingkan sistem geometri yang berbeda, peka pada peran aksioma, dan nyaman memikirkan konsekuensi dari perubahan definisi. Ciri di kelas: perbincangan bisa menyentuh perbedaan geometri Euclid dan transformasi, atau bagaimana definisi dapat dipersempit dan diperluas tanpa menimbulkan kontradiksi. Ini bukan soal “lebih sulit” semata, melainkan soal sudut pandang yang lebih tinggi terhadap struktur.
Bagaimana kita membantu siswa naik tangga tanpa tersandung. Tiga prinsip praktis bisa menjadi pegangan harian. Pertama, selaraskan bahasa dengan level. Di level 0 gunakan pertanyaan yang menajamkan pengenalan, di level 1 dan 2 dorong kalimat “karena” dan “jika maka”, di level 3 latih pemilihan teorema, dan di level 4 ajak membandingkan definisi dan sistem. Kedua, rangkai pengalaman yang memanggil kebutuhan naik level. Daripada langsung memberi definisi, rancang fenomena yang membuat definisi terasa perlu. Pendekatan ini selaras dengan semangat realistik yang digarisbawahi kembali oleh NCTM dalam Catalyzing Change tahun 2018 yang menekankan kejelasan tujuan, akses, dan penalaran. Ketiga, pamerkan beragam cara lalu hubungkan. Ketika berbagai representasi ditempel berdampingan, kita punya bahan untuk bertanya “apa yang sama” dan “apa yang berbeda tetapi tidak mengubah kebenaran”. Strategi ini dikuatkan oleh Peter Liljedahl dalam Building Thinking Classrooms in Mathematics tahun 2020 yang menunjukkan bagaimana struktur kelas yang tepat memperluas partisipasi bernalar.
Kita juga perlu ingat bahwa naik level bukan lomba cepat. Memberi ruang bagi draf gagasan dan revisi adalah investasi. Amanda Jansen dalam Rough Draft Math tahun 2020 mengajak guru merawat rancangan awal ide, karena kesempurnaan jarang lahir dari percobaan pertama. Di tahap ini humor ringan berguna sebagai pelumas. Ketika diskusi memanas, saya sering berkata, “Tenang, kita sedang menaikkan tangga pelan pelan, bukan mengejar lift.” Kelas tersenyum, bahu turun, pikiran kembali jernih.
Mengajar di level yang tepat artinya menjemput siswa di tempat mereka berpijak, lalu menata anak tangga berikutnya agar dapat dijangkau. Van Hiele telah memberi kita peta sejak lama melalui Structure and Insight terbitan 1986. Riset mutakhir menambah rambu di sepanjang jalan. Catalyzing Change dari NCTM tahun 2018 menekankan penalaran dan keadilan akses, Building Thinking Classrooms in Mathematics karya Liljedahl tahun 2020 memberi desain panggung yang membuat cara berpikir tampak, dan Rough Draft Math karya Jansen tahun 2020 mengingatkan bahwa gagasan tumbuh lewat draf, bukan sekali jadi. Dengan peta dan rambu ini, kelas geometri tidak lagi sekadar ruang menggambar. Ia menjadi bengkel membangun bangun dan membangun cara berpikir, dari level 0 sampai 4, satu alasan demi satu alasan. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Isbadar Nursit, S.Pd., M.Pd Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
Apa Reaksi Anda?