Menafsir Ulang Tepuk Sakinah di Era Keluarga Digital

Konsep keluarga sakinah pada era digital yang serba cepat ini, kerap terdengar seperti jargon agama yang jauh dari kehidupan sehari-hari.

Oktober 21, 2025 - 15:00
Menafsir Ulang Tepuk Sakinah di Era Keluarga Digital

Konsep keluarga sakinah pada era digital yang serba cepat ini, kerap terdengar seperti jargon agama yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Namun, Kementerian Agama melalui program Tepuk Sakinah telah berupaya menghadirkan nuansa serta cara baru bagi pasangan calon pengantin untuk memahami hakikat keluarga sakinah dengan cara yang ringan dengan tujuan agar mudah diingat, dan adaptif terhadap budaya digital.

Fenomena Tepuk Sakinah yang cenderung cukup viral di media social terutama di kalangan Gen Z menjadi contoh bagaimana pendidikan keluarga mampu menyesuaikan diri dengan cara komunikasi modern, tanpa kehilangan esensi moral dan  yang tidak kalah penting aspek spiritualnya.

Program Tepuk Sakinah sebenarnya lebih dari sekadar ritual atau gimmick viral. Hal ini tentu telah dirancang untuk mempermudah calon pengantin mengingat lima pilar keluarga sakinah: zawaj (berpasangan), mitsaqan ghalîḍan (janji kokoh), mu’asyarah bil ma’rûf (saling cinta, menghormati, menjaga), musyawarah, dan tarâdhin (saling ridha).

Pengenalan konsep ini melalui tepuk tangan atau gerakan ringan membuatnya mudah diingat dan menyenangkan, sehingga pesan moral tidak hilang di tengah kesibukan persiapan pernikahan. Viralitasnya di media sosial seperti TikTok dan Instagram menjadi media yang efektif menjangkau generasi muda, yang lebih mudah menyerap pesan melalui konten visual dan interaktif dibandingkan teks panjang atau ceramah formal.

Meski begitu, viralitas dan bentuk seremonial tidak boleh menutupi inti dari Tepuk Sakinah. Artikel dari Kompasiana (2025) menekankan bahwa fenomena ini adalah bentuk pedagogi modern yang menggabungkan unsur hiburan dengan pendidikan agama. Dengan demikian, Tepuk Sakinah tidak hanya berfungsi sebagai simbol atau hiburan, tetapi sebagai medium internalisasi nilai-nilai dasar rumah tangga yang harmonis. Dalam konteks keluarga digital, di mana komunikasi seringkali terjadi melalui layar dan interaksi tatap muka semakin berkurang, cara inovatif ini menjadi sangat relevan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Fenomena ini juga perlu dipahami sebagai respons terhadap tantangan keluarga modern. Penelitian di Jurnal As-Sakinah (2023) menunjukkan bahwa pasangan milenial menghadapi risiko konflik rumah tangga yang meningkat akibat pengaruh teknologi, media sosial, dan budaya digital.

Komunikasi yang kerap dangkal, ketergantungan pada gadget, serta kurangnya pemahaman tentang tanggung jawab bersama dapat melemahkan fondasi rumah tangga. Di sinilah esensi Tepuk Sakinah menjadi penting: ia menawarkan pedoman moral yang konkret, ringan, dan mudah diterapkan dalam interaksi sehari-hari. Pasangan tidak sekadar memahami teori, tetapi belajar mengekspresikan nilai-nilai seperti cinta, saling menghormati, musyawarah, dan saling ridha melalui praktik sederhana.

Lebih dari itu, Tepuk Sakinah memperlihatkan bagaimana pendidikan nilai bisa menyesuaikan diri dengan karakter digital generasi muda. Ketika budaya media sosial menekankan kecepatan, viralitas, dan hiburan, program ini menunjukkan bahwa nilai-nilai abadi seperti kesetiaan, kerja sama, dan penghormatan dapat dikemas dengan cara yang relevan tanpa kehilangan substansi. Ini penting, karena hakikat dari pendidikan keluarga sakinah bukan sekadar hafalan pilar atau seremonial pernikahan, melainkan pemahaman dan pengamalan nilai yang mampu menjaga keharmonisan rumah tangga di tengah arus digitalisasi.

Program ini juga menegaskan bahwa keluarga sakinah bukan hanya milik pasangan yang baru menikah. Nilai-nilai yang diajarkan dapat menjadi pedoman bagi seluruh rumah tangga untuk menegakkan komunikasi yang sehat, menyelesaikan konflik secara konstruktif, dan membangun hubungan yang harmonis. Dengan demikian, Tepuk Sakinah berperan sebagai alat edukasi praktis yang memfasilitasi pemahaman moral, spiritual, dan psikologis, sehingga setiap pasangan dapat lebih sadar akan perannya dalam membangun rumah tangga yang seimbang dan penuh kasih sayang.

Namun, keberhasilan Tepuk Sakinah juga menuntut kesadaran dari pasangan itu sendiri. Viralitas dan hiburan tidak cukup jika nilai-nilai tersebut tidak diterapkan dalam praktik sehari-hari. Pasangan perlu menyadari bahwa inti dari tepuk tangan atau gerakan simbolis adalah refleksi dari kesungguhan membangun keluarga yang harmonis dan beradab. Jika hanya dijadikan gimmick, maka pesan moralnya akan hilang dan tujuan pendidikan keluarga sakinah tidak tercapai.

Pada akhirnya, belajar dari fenomena Tepuk Sakinah tentu penting melihat bahwa pendidikan keluarga sakinah harus adaptif terhadap zaman, tetapi tetap menekankan inti nilai moral dan spiritual. Tepuk ini bukan sekadar seremonial atau viralitas untuk kepuasan serta validasi semata, lebih dari itu juga menjadi pedoman yang esensial untuk memahami dan menerapkan lima pilar keluarga sakinah. Hakikat Tepuk Sakinah harus dipahami oleh semua pasangan suami istri: ia adalah pengingat bahwa membangun rumah tangga harmonis memerlukan kesadaran, kerjasama, dan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di tengah era digital yang penuh tantangan dan distraksi. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow