Anak-anak Ngadilangkung Belajar Membuat Topeng Malangan Bersama Garasi Budaya
Garasi Budaya, komunitas seni yang digagas oleh siswa dan guru SMK Cendika Bangsa Kepanjen. Di sinilah anak-anak berlibur dengan cara berbeda: mencetak topeng Malangan, ikon budaya lokal

TIMESINDONESIA, MALANG – Siang yang terik tak menyurutkan semangat puluhan anak sekolah dasar yang memadati sebuah rumah sederhana di Jalan Sidoluhur RT 3 RW 1, Desa Ngadilangkung, Kepanjen, Malang, Selasa (24/6/2025).
Tempat itu merupakan markas kecil Garasi Budaya, komunitas seni yang digagas oleh siswa dan guru SMK Cendika Bangsa Kepanjen.
Di sinilah anak-anak berlibur dengan cara berbeda: mencetak topeng Malangan, ikon budaya lokal yang kini mulai jarang dikenali generasi muda.
Suasana penuh canda tawa berpadu dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Kegiatan dibuka dengan permainan outbound seru, memancing gelak tawa sekaligus membangun semangat kebersamaan.
Meski matahari menyengat, antusiasme anak-anak tidak luntur. Setelah itu, mereka diajak mengenal proses pembuatan topeng Malangan. Mulai dari menyentuh cetakan hingga mencampur gibsum dengan air.
“Seru banget! Aku baru tahu kalau bikin topeng itu bisa kayak gini,” ucap Nayla, siswa kelas dua SDN 2 Ngadilangkung, dengan wajah berseri.
Acara ini tidak hanya melibatkan anak-anak. Sejumlah warga, orang tua, guru, serta Ketua RT dan Ibu RT setempat turut hadir, menciptakan suasana yang hangat dan penuh dukungan. Kegiatan ini menjadi contoh kolaborasi yang hidup antara sekolah, komunitas, dan masyarakat dalam melestarikan budaya daerah.
Kak Fathur, fasilitator sekaligus penggagas kegiatan, mengatakan bahwa tujuan utama dari kegiatan ini adalah mendekatkan anak-anak pada budaya lokal melalui pengalaman langsung yang menyenangkan, sekaligus menjauhkan mereka sejenak dari layar gawai.
“Literasi itu tidak hanya membaca buku. Kami ingin anak-anak juga belajar membaca budaya. Dengan menyentuh, merasakan, dan memahami langsung warisan leluhur, mereka akan memiliki ikatan emosional terhadap budaya itu sendiri,” jelasnya.
Ketika istirahat tiba, para peserta kompak meneriakkan yel-yel khas komunitas: Literasi, Diskusi, Sinkronisasi Aksi.
Dari garasi kecil di sudut desa, semangat melestarikan budaya tumbuh dan berkembang. Tak perlu panggung megah untuk menjaga warisan leluhur—cukup tangan-tangan kecil yang mau belajar, warga yang bersedia bergotong royong, dan komunitas yang percaya bahwa budaya bukan hanya warisan masa lalu, tetapi bekal penting untuk masa depan. (*)
Apa Reaksi Anda?






