Ketika Cerita Memanggil Rumus: Fenomenologi Didaktik di Kelas

“Ketika konsep dipanggil oleh konteks, kita tidak hanya memanen jawaban benar hari ini. Rasanya seperti menanam pohon. Butuh waktu untuk berakar, tetapi ketika sudah tegak, ia akan memberi teduh untuk

November 13, 2025 - 16:00
Ketika Cerita Memanggil Rumus: Fenomenologi Didaktik di Kelas

MALANG “Ketika konsep dipanggil oleh konteks, kita tidak hanya memanen jawaban benar hari ini. Rasanya seperti menanam pohon. Butuh waktu untuk berakar, tetapi ketika sudah tegak, ia akan memberi teduh untuk banyak pelajaran yang lain”.

Sering kali konsep matematika datang ke kelas seperti tamu yang sudah rapi. Ia tiba dengan definisi, contoh, dan latihan. Murid duduk manis, mencoba beberapa soal, lalu pindah topik. Cepat dan rapi, tetapi sering tidak menempel. Fenomenologi didaktik menawarkan jalur yang lebih manusiawi. Alih alih mengumumkan konsep, kita merancang pengalaman yang memanggilnya. Freudenthal dalam bukunya Mathematics as an Educational Task tahun 1973 mengingatkan bahwa matematika sekolah sebaiknya tumbuh dari situasi yang bermakna. Ketika konsep dipanggil oleh konteks, alasan lahir lebih dulu, rumus menyusul sebagai ringkasan yang adil.

Bayangkan pengantar sudut. Alih alih menulis definisi sejak awal, saya memutar video jarum jam dari posisi tiga ke posisi lima. Murid diminta menaksir besarnya putaran, lalu membandingkan dengan putaran dari tiga ke enam. Percakapan pun hidup. Ada yang mengaitkan dengan perasaan tubuh saat berputar, ada yang menautkan ke arah kompas.

Pada tahap ini saya hanya merawat kata kunci yang muncul seperti putaran, arah, besar, dan satuan yang belum kami pilih. Ketika derajat akhirnya diperkenalkan, murid menerimanya sebagai alat yang mereka butuhkan, bukan benda asing. Temuan dari How People Learn II tahun 2018 menegaskan bahwa ide akan lebih melekat jika diikatkan pada pengalaman yang sudah bermakna. Dengan kata lain, konteks adalah kait yang memegang konsep.

 INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kekuatan konteks terasa juga pada topik pecahan. Alih alih langsung menulis a per b, saya mulai dari berbagi roti, dari garis bilangan, dan dari gambar yang dapat disusun ulang. Saat dua per tiga setara empat per enam, mereka tidak sekadar menyebut sama karena pembilang dan penyebut dikali dua. Mereka menunjuk potongan roti yang jumlahnya lebih banyak tetapi ukurannya lebih kecil. Boaler dalam Mathematical Mindsets tahun 2016 mendorong strategi yang mengundang banyak jalan menuju gagasan yang sama. Jalan yang beragam itu membuat pola muncul secara alami. Murid tidak sekadar meniru langkah. Mereka merasa sedang membuatnya.

Agar percakapan tidak padam, panggung kelas perlu diatur. Liljedahl melalui Building Thinking Classrooms in Mathematics tahun 2020 menunjukkan bahwa perubahan kecil seperti memajang banyak cara, membiarkan murid berdiri mengerjakan di papan, dan memberi soal pemantik yang tidak langsung menuntun langkah dapat melipatgandakan partisipasi. Ketika beberapa karya ditempel berdampingan, saya mengundang pertanyaan sederhana yang memancing alasan. Apa yang sama di semua cara. Apa yang berbeda tetapi tidak mengubah kebenaran. Pertanyaan sejenis menyalakan jembatan dari konteks menuju konsep.

Mengorkestrasi diskusi juga butuh strategi agar tidak berubah menjadi obrolan lepas. Smith dan Stein dalam 5 Practices for Orchestrating Productive Mathematics Discussions edisi 2018 menyarankan guru mengantisipasi jawaban, memantau, memilih, mengurutkan, dan menghubungkan. Dalam praktiknya saya menyiapkan beberapa kemungkinan cara yang akan muncul, lalu saat kelas berjalan saya memilih karya yang paling menonjolkan struktur penting. Urutannya saya atur agar pembaca pemula dapat mengikutinya, lalu saya hubungkan semua cara dengan satu kalimat alasan bersama. Ketika murid menyimpulkan bahwa luas segitiga tetap karena penyusunan ulang tidak menambah bagian, mereka sedang menyeberang dari cerita ke prinsip.

Budaya kelas yang aman menjadi syarat penting. Jansen melalui Rough Draft Math tahun 2020 mengajak kita merayakan draf gagasan. Kelas yang sehat tidak menuntut kesempurnaan sejak awal. Ia memberi ruang untuk mencoba, salah, dan memperbaiki. Saya biasa berkata, tunjukkan draf penjelasanmu, nanti kita poles bersama. Saat seorang murid berkelakar, penjelasan saya masih belepotan, saya menjawab, yang penting ada alasan, kita rapikan pelan pelan seperti merapikan rambut sebelum foto kelas. Tawa kecil membuat udara segar kembali masuk, lalu argumen bergerak lagi.

Transparansi tujuan juga tidak boleh terlupa. NCTM dalam Catalyzing Change tahun 2018 mendorong guru menuliskan tujuan dan kriteria secara jelas. Maka saya menulis satu kalimat di awal, hari ini kita akan melihat bagaimana fenomena tertentu memanggil konsep dan menamai apa yang tetap di balik berbagai situasi. Kejelasan ini membuat murid paham ukuran keberhasilan. Mereka tidak lagi menebak selera guru, melainkan menilai kekuatan alasan yang mereka bangun.

Fenomenologi didaktik bukan seni menunda konsep tanpa arah. Ia seni menyusun urutan pengalaman yang menuntun munculnya konsep pada waktu yang tepat. Setelah konsep muncul, kita tetap perlu merawatnya melalui latihan yang menanyakan mengapa. Umpan balik yang baik, kata Hattie dan Clarke dalam Visible Learning Feedback tahun 2019, adalah umpan balik yang menunjukkan langkah berikutnya. Maka komentar saya bergeser dari benar atau salah menjadi ajakan, sebutkan apa yang tetap ketika angka diubah, atau jelaskan mengapa dua cara tadi setara.

Apakah pendekatan ini memakan waktu. Sekilas iya. Namun banyak penelitian menunjukkan manfaatnya dalam jangka panjang. EEF dalam laporan Teacher Feedback to Improve Pupil Learning tahun 2021 merangkum bahwa penjelasan singkat yang memaksa siswa menghubungkan ide memperdalam pemahaman.

Ketika konsep dipanggil oleh konteks, kita tidak hanya memanen jawaban benar hari ini. Kita menumbuhkan kebiasaan bernalar yang akan bertahan lebih lama dari satu musim ujian. Rasanya seperti menanam pohon. Butuh waktu untuk berakar, tetapi ketika sudah tegak, ia akan memberi teduh untuk banyak pelajaran yang lain. ***

 INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Isbadar Nursit, S.Pd., M.Pd, Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow