Ketika Satu Contoh Mengubah Peta: Esensi Kontra-Contoh dalam Bukti

“Esensi kontra-contoh bukan mengumpulkan “kesalahan”, melainkan memanggil kejelasan. Ia mengajari kita bersikap rendah hati di hadapan data, dan berani memperbaiki kalimat ketika kenyataan menuntut”

Desember 3, 2025 - 15:00
Ketika Satu Contoh Mengubah Peta: Esensi Kontra-Contoh dalam Bukti

MALANG “Esensi kontra-contoh bukan mengumpulkan “kesalahan”, melainkan memanggil kejelasan. Ia mengajari kita bersikap rendah hati di hadapan data, dan berani memperbaiki kalimat ketika kenyataan menuntut”

Di banyak kelas, kata “bukti” sering terasa seperti garis finish yang kaku: tulisan rapi, Q.E.D., lalu bel berbunyi. Padahal, dalam praktik berpikir, bukti justru mirip bengkel uji tabrak. Kita menaruh dugaan di jalur cepat, lalu melihat apakah ia bertahan ketika dihantam kenyataan. Di sinilah kontra-contoh menjadi pemeran utama.

Satu contoh yang pas bisa menggoyang keyakinan, memaksa kita memperbaiki definisi, dan akhirnya melahirkan pernyataan yang lebih kuat. Lakatos, lewat bukunya Proofs and Refutations (1976), memperlihatkan proses ini dengan indah: dari dugaan, diserang sanggahan, diperbaiki, diserang lagi, hingga terbentuk pemahaman yang lebih matang. Bukan dramanya yang penting, tetapi keberanian mengundang sanggahan sebagai mesin belajar.

Ambil contoh sederhana yang ramah pembaca umum. “Semua segiempat yang sisinya sama panjang adalah persegi.” Sekilas terdengar masuk akal, sampai belah ketupat datang mengetuk pintu. Kontra-contoh ini tidak sekadar berkata “salah”, ia bertanya balik: “Sifat apa yang sebenarnya kau butuhkan?” Kita pun memperbaiki kalimat menjadi “segiempat dengan empat sisi sama panjang dan semua sudut siku-siku adalah persegi.” Dugaan direvisi, peta konsep berubah. Atau contoh aritmetika yang sering memunculkan senyum: “Semua bilangan prima itu ganjil.” Lalu angka 2 melambaikan tangan. Tawa kecil muncul, ketegangan turun, dan ruang berpikir melebar. Humor ringan seperti ini bukan bumbu semata; ia adalah jeda yang membuat otak kembali sanggup menimbang alasan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Mengapa kontra-contoh begitu kuat? Karena ia bekerja sebagai mikroskop bagi definisi. Ketika satu contoh membantah, kita dipaksa menatap istilah dan syarat secara teliti. Di kelas, momen ini terasa seperti mengencangkan baut pada jembatan konsep. NCTM, dalam Catalyzing Change (2018), menekankan bahwa penalaran dan pembuktian harus menjadi napas pembelajaran sehari-hari, bukan acara seremonial menjelang ujian. Kontra-contoh menjadikan “napas” itu nyata: ia mengubah latihan prosedur menjadi percakapan tentang alasan.

Agar percakapan tidak liar, panggung perlu dirancang. Peter Liljedahl, lewat Building Thinking Classrooms in Mathematics (2020), menunjukkan bahwa struktur kelas kecil—kelompok yang diacak, papan vertikal, dan soal pemantik yang tidak langsung memberi langkah—dapat melipatgandakan partisipasi bernalar. Dalam panggung seperti ini, saya sering memakai ritme tiga tahap yang ringan. Pertama, duga: munculkan pola dari beberapa contoh. Kedua, bantah: berburu kontra-contoh dua menit—“siapa yang bisa menggagalkan dugaan ini?” Ketiga, perbaiki: rapikan kalimat dengan menambahkan syarat yang memang diperlukan, lalu uji lagi. Ritme pendek ini terasa seperti latihan pernapasan logika. Cepat, segar, dan berdampak.

Budaya “boleh salah dulu” sangat menentukan. Amanda Jansen, dalam Rough Draft Math (2020), mengajak kita merayakan draf ide. Ketika siswa merasa aman menunjukkan dugaan yang belum sempurna, kelas berubah dari galeri jawaban jadi bengkel penalaran. Saya biasanya berkata, “Tunjukkan dulu draf-nya. Nanti kita cari angin yang cukup kencang untuk menguji.” Jika draf roboh, kami tidak panik; kami bertanya apa yang harus diperkuat. Jika draf tetap berdiri, kami bersyukur—lalu mencoba angin yang lebih kencang. Sedikit candaan seperti “Tenang, ini uji terowongan angin, bukan badai nyata” sering membantu menurunkan bahu dan menaikkan perhatian.

Bagaimana menilai proses ini tanpa terjebak selera guru? Kuncinya pada transparansi tujuan. Di awal saya menulis, “Hari ini kita belajar menulis dugaan yang layak, mencari kontra-contoh yang relevan, dan memperbaiki kalimat hingga tahan uji.” Saat siswa bekerja, saya memantau tiga jenis bukti di kertas dan diskusi: keberanian menyatakan dugaan dengan alasan, kualitas kontra-contoh yang diajukan, dan kemampuan merapikan definisi atau syarat setelah diskusi. Hasil akhirnya mungkin belum “bukti formal” yang panjang, tetapi fondasi relasionalnya kuat. Ketika saatnya tiba untuk menulis bukti lengkap, mereka tidak lagi berangkat dari nol; mereka berangkat dari jalan yang sudah diaspal oleh serangkaian uji tabrak kecil.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Contoh kelas yang sering saya pakai adalah sudut bertolak belakang. Dugaan awal siswa biasanya “semua sudut yang berhadapan itu sama besar.” Saya ajak mereka mencari gambar yang mematahkan—misalnya dua garis yang tidak berpotongan, sehingga “berhadapan” tidak terdefinisi. Dari situ lahir kebutuhan menyebut dua garis berpotongan sebagai syarat. Lalu kami periksa lagi mengapa besarnya sama: beberapa memilih argumen kongruensi sudut, yang lain memakai pasangan sudut berseberangan dan garis lurus sebagai 180 derajat. Diskusi mengerucut pada alasan yang sah. Dugaan berubah menjadi pernyataan yang bisa dibuktikan.

Jika ada yang khawatir proses ini memakan waktu, ingat kembali tujuan jangka panjang. Dengan ritme duga-bantah-perbaiki yang singkat, kita menabung ketahanan konsep. Ketika ide telah beberapa kali “ditiup angin”, ia tidak mudah goyah saat bentuk soal berubah. Di titik itulah bengkel bukti membayar investasinya: lebih sedikit remedial, lebih banyak aha-moment yang bertahan.

Esensi kontra-contoh bukan mengumpulkan “kesalahan”, melainkan memanggil kejelasan. Ia mengajari kita bersikap rendah hati di hadapan data, dan berani memperbaiki kalimat ketika kenyataan menuntut. Lakatos memberi kita kisah klasik tentang itu dalam Proofs and Refutations (1976). Riset mutakhir memberi kita rambu dan panggung—Catalyzing Change (2018) untuk menegaskan budaya penalaran, Building Thinking Classrooms (2020) untuk menghidupkan partisipasi, dan Rough Draft Math (2020) untuk merawat draf ide. Dengan bekal ini, kontra-contoh bukan lagi momok. Ia sahabat yang blak-blakan, kadang usil, tetapi selalu jujur—sahabat yang kita butuhkan agar peta matematika yang kita gambar benar-benar sesuai dengan medan yang kita lalui. (*)

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Pewarta: Isbadar Nursit, S.Pd., M.Pd Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow