Komunitas Driver Online Bojonegoro Dukung Komisi 20 Persen
Setelah aksi 177 yang dilakukan di Monas, mulai muncul banyak komunitas ojol lainnya yang berani menyuarakan bahwa mereka tidak sepakat dengan opini yang beredar selama ini yaitu komisi harus turun dari…

TIMESINDONESIA, BOJONEGORO – Setelah aksi 177 yang dilakukan di Monas, mulai muncul banyak komunitas ojol lainnya yang berani menyuarakan bahwa mereka tidak sepakat dengan opini yang beredar selama ini yaitu komisi harus turun dari 20% menjadi 10%.
Di tengah perdebatan nasional terkait wacana penurunan komisi aplikator ojek online dari 20 persen menjadi 10 persen, suara dukungan terhadap skema saat ini justru datang dari para pengemudi aktif di berbagai daerah. Salah satunya adalah dari wilayah Bojonegoro, Jawa Timur.
Komunitas Driver Online Bojonegoro, sebuah kelompok yang terdiri dari para mitra driver aktif khususnya pengguna aplikasi Grab menyatakan sikap resmi melalui surat yang ditujukan langsung kepada Menteri Perhubungan Republik Indonesia.
Dalam surat tersebut, mereka menegaskan bahwa potongan komisi 20 persen dari aplikator bukanlah isu utama yang menjadi keluhan pengemudi selama ini.
Ketua komunitas, Kuat Prasojo, mengatakan bahwa hal terpenting bagi pengemudi adalah kelancaran order dan keberlangsungan sistem layanan transportasi online itu sendiri.
“Kami memahami sistem potongan komisi saat ini. Dan bagi kami, hal itu tidak jadi masalah besar asalkan order tetap terjaga dan gacor. Itu yang paling penting bagi kami di lapangan,” ujar Kuat, Sabtu (19/7/2025).
Komunitas ini menekankan bahwa sistem yang berlaku sekarang masih memberikan manfaat
langsung kepada driver.
Beberapa fasilitas yang mereka sebutkan antara lain adalah perlindungan asuransi kecelakaan, layanan customer service yang aktif merespons keluhan, diskon melalui program GrabBenefits, hingga keberadaan satuan tugas (Satgas) yang siap membantu jika terjadi masalah di lapangan.
“Kami tahu potongan komisi itu bagian dari sistem. Tapi selama kami masih mendapatkan
jaminan seperti asuransi, dukungan lapangan, diskon servis, dan program kesejahteraan
lainnya, maka potongan itu bisa kami terima,” tambah Kuat.
Komunitas yang saat ini beranggotakan 15 orang aktif ini menyuarakan kekhawatiran terhadap dorongan penurunan komisi yang menurut mereka justru berasal dari kelompok atau individu yang sudah tidak lagi aktif sebagai driver.
Mereka merasa bahwa suara para pengemudi aktif di lapangan seringkali tidak terdengar, padahal merekalah yang paling mengetahui kondisi riil dan tantangan sehari-hari sebagai mitra driver.
“Kami memohon agar Kementerian Perhubungan mengabaikan permintaan para driver yang
sudah tidak aktif. Mereka tidak lagi merasakan bagaimana realita di lapangan, dan sering kali
justru menciptakan kegaduhan di ruang publik,” tegas Kuat.
Lebih jauh, komunitas ini juga menyoroti bahwa ekosistem transportasi online tidak hanya
melibatkan driver, tapi juga mencakup pelanggan dan pelaku UMKM yang menggantungkan
sebagian besar pendapatan mereka pada keberlangsungan platform digital seperti Grab atau Gojek.
“Ini bukan hanya soal kami para driver. Banyak pelaku UMKM, warung makan, toko kelontong, hingga pedagang kecil yang hidup dari layanan aplikasi. Kalau sistem ini terganggu, maka semua ikut terdampak. Karena itu kami mendorong agar kebijakan yang diambil pemerintah harus melalui kajian yang matang dan berpihak pada keberlanjutan ekosistem,” ujar Kuat.
Para pengemudi juga menyampaikan bahwa mereka selama ini telah berupaya menjaga
hubungan baik dengan aplikator, termasuk mengikuti pelatihan, mematuhi aturan, dan aktif
berpartisipasi dalam kegiatan komunitas.
Bagi mereka, platform digital bukan sekadar
tempat bekerja, tetapi ruang untuk tumbuh bersama.
“Kami hanya ingin terus bisa bekerja dalam sistem yang stabil, aman, dan saling
menguntungkan. Kalau aplikator tidak bisa bertahan karena komisinya dipangkas terlalu
dalam, lalu siapa yang akan menjamin keberlanjutan kerja kami?” tulis Kuat dalam bagian akhir pernyataan.
Dengan pernyataan ini, Komunitas Driver Online Bojonegoro berharap pemerintah pusat,
khususnya Kementerian Perhubungan, membuka ruang aspirasi yang luas bagi pengemudi
aktif.
Mereka berharap suara dari bawah ini bisa menjadi masukan nyata dalam perumusan
kebijakan transportasi berbasis aplikasi di Indonesia.
Oleh karenanya, komunitas-komunitas ini memutuskan untuk tidak turun ke jalan 21 Juli 2025 nanti yang diinisiasi oleh Garda, karena tidak sepaham dengan hati nurani mereka. (*)
Apa Reaksi Anda?






