Maluku Utara Darurat Perlindungan Anak, KPAI Dorong Akselerasi Layanan dan Pencegahan Kekerasan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak semua pihak untuk berbenah, mengingat ketimpangan geografis, sosial ekonomi, dan minimnya sarana prasarana masih menjadi ganjalan besar bagi kemajuan…

TIMESINDONESIA, TERNATE – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak semua pihak untuk berbenah, mengingat ketimpangan geografis, sosial ekonomi, dan minimnya sarana prasarana masih menjadi ganjalan besar bagi kemajuan perlindungan anak di wilayah Maluku Utara.
Data tahun 2023 membeberkan fakta yang mengkhawatirkan sekaligus membingungkan. Maluku Utara menempati urutan kelima terendah secara nasional dalam Indeks Pemenuhan Hak Anak (IPHA), yang mengindikasikan bahwa banyak hak dasar anak belum terpenuhi secara layak. Namun, di sisi lain, provinsi ini justru menduduki peringkat ketiga tertinggi secara nasional untuk Indeks Perlindungan Khusus Anak (IPKA), setelah Kepulauan Riau dan DKI Jakarta.
"Kondisi ini seharusnya menjadi alarm keras. Ketika indeks perlindungan khususnya tinggi namun pemenuhan hak sangat rendah, artinya anak-anak di Maluku Utara berisiko tinggi kehilangan akses terhadap layanan hak dasarnya," tegas Dian Sasmita, Anggota KPAI, saat berkunjung ke Maluku Utara pada Selasa (29/07/2025).
Salah satu akar masalah yang paling mencolok adalah rendahnya capaian kepemilikan akta kelahiran, menempatkan Maluku Utara di posisi ke-30 secara nasional dalam pemenuhan hak sipil anak. Ini bukan sekadar angka; ini adalah gerbang awal bagi anak untuk mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan hak-hak dasar lainnya.Tanpa akta, masa depan mereka bisa terhambat bahkan sebelum dimulai.
Mirisnya, meskipun anak-anak di Maluku Utara berjumlah sekitar 484.300 jiwa atau 35,7% dari total penduduk (BPS 2024), perlindungan yang diberikan masih jauh dari optimal. Simfoni PPA mencatat ada 274 anak menjadi korban kekerasan pada tahun 2024. Angka ini, menurut Dian, kemungkinan besar hanya puncak gunung es.
"Mengingat Maluku Utara terdiri dari 10 kabupaten/kota, sangat mungkin jumlah kekerasan terhadap anak jauh melampaui 274 kasus. Banyak korban yang mungkin belum melapor atau belum memiliki akses ke layanan vital seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Anak (UPTD PPA)," kritik Dian.
Ia menekankan bahwa ketersediaan UPTD PPA di setiap daerah adalah esensial, berfungsi sebagai titik awal untuk pelaporan, pendampingan, hingga rehabilitasi korban.
Namun, keberadaan UPTD PPA yang merata seharusnya menjadi prioritas, bukan sekadar pelengkap. Meski Maluku Utara telah mengaktifkan diri sebagai Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) sejak 2022 dan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di 85,82% sekolah, pertanyaan tetap muncul: apakah inisiatif ini sudah cukup efektif? Pencegahan kekerasan memang krusial, dan sekolah harus menjadi tempat yang aman.
Namun, jika anak-anak masih rentan terhadap kekerasan dan hak-hak dasar mereka belum terpenuhi, maka strategi yang ada perlu dievaluasi secara menyeluruh.
Kolaborasi KPAI dengan Ombudsman Perwakilan Maluku Utara, Save the Children Indonesia, Stimulant Institute, dan Wahana Visi Indonesia, terutama melalui program KREASI di Pulau Morotai dan Halmahera Utara, adalah langkah positif.
Namun, dibutuhkan komitmen lebih dari seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), lembaga kemasyarakatan, komunitas, dan masyarakat untuk benar-benar memastikan anak-anak Maluku Utara tumbuh dan berkembang secara optimal, bebas dari segala bentuk kekerasan.
"Anak-anak hari ini adalah pemimpin Maluku Utara masa depan," tutup Dian.(*)
Apa Reaksi Anda?






