Saat Rumus Punya Cerita: Studi Kasus Luas Segitiga yang Mudah Diingat

“Ketika rumus punya cerita, ingatan tidak lagi menjadi gudang langkah yang cepat berdebu. Ia menjadi peta makna yang menuntun perjalanan berikutnya.

November 11, 2025 - 19:30
Saat Rumus Punya Cerita: Studi Kasus Luas Segitiga yang Mudah Diingat

MALANG “Ketika rumus punya cerita, ingatan tidak lagi menjadi gudang langkah yang cepat berdebu. Ia menjadi peta makna yang menuntun perjalanan berikutnya. Dan di situlah tujuan kita sebagai pendidik. Bukan hanya menambah jawaban benar hari ini, melainkan menumbuhkan alasan yang akan memandu jawaban esok hari”.

Mengapa banyak murid cepat lupa rumus luas segitiga, padahal sudah mengerjakan banyak latihan? Jawaban pendeknya karena yang mereka simpan baru langkah, belum alasan. Jaringan makna yang menopang langkah belum tumbuh. Tulisan ini mengajak Anda masuk ke satu pelajaran sederhana tentang luas segitiga untuk melihat bagaimana pemahaman relasional membuat ingatan lebih kuat dan lebih siap dipakai di situasi baru.

Saya memulai kelas tanpa menulis rumus. Di layar, saya tampilkan persegi panjang yang dibelah oleh diagonal. Pertanyaan saya singkat: berapa luas salah satu segitiga yang terbentuk? Hampir semua menjawab setengah dari persegi panjang. Kami lanjut ke contoh kedua, dua segitiga berbeda yang disusun menutup sebuah persegi panjang lain. “Masih setengah?” tanya saya. Mereka mengangguk tetapi mulai saling menoleh. Saya tidak buru buru memberi label derajat benar atau salah. Saya meminta alasan, bukan sekadar jawaban. Pada titik ini kosakata awal sudah lahir: setengah, menutup bidang, bagian yang sama besar. Rumus belum muncul, tetapi idenya sudah terasa sebagai cerita.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Berikutnya saya membawa kelas ke situasi yang lebih umum. Di aplikasi interaktif saya buat segitiga sebarang, lalu munculkan persegi panjang dengan alas yang sama dan tinggi yang sama dengan jarak tegak lurus dari puncak ke alas. Segitiga saya potong sepanjang tinggi lalu saya geser potongannya sehingga menutup setengah dari persegi panjang itu.

Murid menyaksikan sendiri bahwa betapa pun miring bentuk segitiga, selama alas dan tinggi sama, luasnya persis setengah dari persegi panjang yang sepadan. Di momen ini rumus setengah kali alas kali tinggi tidak lagi terasa seperti mantra, melainkan ringkasan yang adil dari sesuatu yang mereka lihat dan mengerti.

Freudenthal mengajak kita ke arah ini dalam Mathematics as an Educational Task edisi 1973, dan gagasan tersebut kembali ditegaskan dalam pendekatan pembelajaran realistik yang lebih mutakhir seperti yang dirangkum Gravemeijer dan kolega dalam berbagai publikasi belakangan.

Agar makna menempel, saya sengaja memunculkan miskonsepsi yang sering terjadi. Puncak segitiga saya geser ke samping hingga bentuknya tampak lebih miring. “Apakah luasnya berubah?” tanya saya. Sebagian ragu. Kami menamai bersama apa yang tetap dan apa yang berubah. Alas tetap.

Jarak tegak lurus dari puncak ke alas atau tinggi tetap. Bentuk berubah. Luas tetap. Kalimat sederhana ini kami tulis besar di papan. Temuan dari How People Learn II terbitan 2018 menjelaskan bahwa pemahaman yang terhubung pada ide yang sudah bermakna akan lebih tahan lama dan lebih mudah ditransfer. Menamai yang tetap dan yang berubah adalah jembatan kecil dari pengalaman ke konsep.

Supaya tidak berhenti pada satu cara, saya minta kelas menyelesaikan satu soal dengan dua pendekatan. Pertama, dekomposisi. Potong dan susun ulang segitiga hingga menjadi separuh dari persegi panjang. Kedua, pendekatan ukuran. Ukur alas, ukur tinggi, lalu hitung. Dua cara satu jawaban. Setiap murid saya minta menulis satu kalimat mengapa dua cara itu setara.

Ada yang menulis karena luas ditentukan oleh ukuran alas dan ukuran tegak lurusnya, bukan oleh kemiringan sisi. Ada yang menulis karena menyusun ulang tanpa merobek atau menambah bagian tidak mengubah luas. Latihan singkat ini sejalan dengan dorongan Jo Boaler dalam Mathematical Mindsets tahun 2016 agar siswa melihat banyak jalan menuju ide yang sama, serta dengan temuan Peter Liljedahl dalam Building Thinking Classrooms in Mathematics tahun 2020 bahwa variasi representasi memperbanyak pintu masuk berpikir.

Di tengah proses, humor kecil menjaga energi. Ketika ada yang berseru, “Pak, kok luasnya tetap padahal segitiganya makin miring,” saya jawab, “Yang berubah gayanya, bukan hatinya.” Kelas tertawa sebentar lalu kembali fokus. Humor bukan hiasan kosong, melainkan jeda yang membuat pikiran siap menimbang alasan. Amanda Jansen dalam Rough Draft Math tahun 2020 mendorong kita memberi ruang pada rancangan awal ide siswa agar bisa diperbaiki bersama. Tawa ringan sering menjadi isyarat bahwa kelas aman untuk mencoba dan mengoreksi.

Bagaimana dengan penilaian? John Hattie bersama Fisher dan Frey dalam Visible Learning for Mathematics tahun 2017 menekankan bahwa umpan balik yang efektif harus menunjukkan posisi sekarang dan langkah berikutnya. Maka setelah dua cara satu jawaban, komentar saya bukan sekadar “benar” atau “salah”, melainkan ajakan pendek: “Tunjukkan apa yang tetap ketika titik puncak digeser.” Di sisi lain, Catalyzing Change dari NCTM tahun 2018 mengingatkan kita menjaga akses yang adil. Itu sebabnya tugas saya rancang dengan pintu masuk yang ramah tetapi tetap menantang, agar semua siswa bisa mulai dan semua punya peluang melangkah jauh.

Apakah semua ini makan waktu? Sekilas iya. Namun Powerful Teaching karya Agarwal dan Bain tahun 2019 merangkum bukti tentang praktik yang membuat belajar tahan lama, seperti meminta siswa menjelaskan kembali dengan kata sendiri dan mengaitkan ide baru ke ide lama. Tiga sentuhan kecil cukup kita selipkan tanpa merombak kurikulum. Mulailah dengan fenomena yang menutup bidang agar gagasan setengah muncul alami. Lanjutkan dengan demonstrasi singkat secara konkret atau digital untuk menegaskan bahwa luas bergantung pada alas dan tinggi. Akhiri dengan satu soal yang dikerjakan dengan dua cara dan minta satu kalimat alasan yang menyatukan keduanya.

“Ketika rumus punya cerita, ingatan tidak lagi menjadi gudang langkah yang cepat berdebu. Ia menjadi peta makna yang menuntun perjalanan berikutnya. Dan di situlah tujuan kita sebagai pendidik. Bukan hanya menambah jawaban benar hari ini, melainkan menumbuhkan alasan yang akan memandu jawaban esok hari”. (*)

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Isbadar Nursit, S.Pd., M.Pd, Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow