Akademisi Teknik Lingkungan Unmuh Jember: Banjir Sumatra Bukti Kerusakan Lingkungan Sudah di Titik Kritis
Banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra kembali membuka luka lama persoalan lingkungan di Indonesia. Menanggapi situasi tersebut, Dr. Latifa Mirzatika Al-Rosyid, S.T., M.T., Kepala Progr
JEMBER Banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra kembali membuka luka lama persoalan lingkungan di Indonesia. Menanggapi situasi tersebut, Dr. Latifa Mirzatika Al-Rosyid, S.T., M.T., Kepala Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Muhammadiyah Jember (Unmuh Jember), menegaskan bahwa bencana ini merupakan “alarm keras” atas kerusakan ekologis nasional yang semakin parah, terutama pada Daerah Aliran Sungai (DAS), tata ruang, dan dampak perubahan iklim yang makin terlihat nyata.
Menurut Dr. Latifa, banjir yang terjadi bukan sekadar akibat curah hujan tinggi, namun merupakan gambaran kompleks dari masalah lingkungan yang telah berlangsung lama. Sumatra, yang mencatat tingkat deforestasi tinggi. mengalami penurunan drastis kemampuan tanah menyerap air. Hilangnya tutupan hutan, meningkatnya erosi, serta sedimentasi sungai menyebabkan aliran permukaan meningkat tajam.
“Ketika DAS rusak, hujan dengan intensitas sedang pun sudah cukup untuk memicu banjir. Apalagi saat terjadi hujan ekstrem seperti sekarang,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa perubahan iklim global memperparah situasi ini. Atmosfer yang semakin hangat mampu menyimpan lebih banyak uap air, sehingga hujan ekstrem turun dalam waktu singkat dengan intensitas jauh lebih besar. Fenomena cuaca seperti La Niña dan ketidakstabilan monsun Asia–Australia turut memicu curah hujan luar biasa di Sumatra. Kombinasi antara DAS yang rusak dan intensitas hujan yang meningkat akibat perubahan iklim menciptakan kondisi banjir yang sulit dikendalikan.
Dr. Latifa juga menyoroti urbanisasi cepat di berbagai kota besar di Sumatra yang tidak diimbangi dengan modernisasi sistem drainase. Saluran air tidak diperbarui sesuai pertumbuhan kota, banyak pemukiman berada di bantaran sungai, dan sampah yang menumpuk kerap menyumbat aliran.
“Banjir ini bukan hanya fenomena alam, tetapi konsekuensi dari pembangunan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan,” tambahnya.
Selain merusak permukiman dan infrastruktur, banjir besar juga berdampak langsung pada kualitas air sungai dan sumur warga. Air banjir membawa lumpur, limbah domestik, limbah pertanian, hingga overflow septic tank yang mencemari sumur dangkal. Kontaminasi ini meningkatkan risiko penyakit berbasis air seperti diare, kolera, disentri, leptospirosis, hingga penyakit berbasis vektor akibat genangan seperti demam berdarah. Dr. Latifa memperingatkan bahwa fase pascabencana adalah masa paling kritis karena kualitas air bersih biasanya menurun drastis.
Dalam penanganan banjir di Indonesia, Dr. Latifa menilai terdapat banyak aspek penting yang sering luput. Ia menyebut minimnya pendekatan terpadu dari hulu hingga hilir, lemahnya tata ruang berbasis risiko, kurangnya penggunaan solusi ekologis seperti wetland buatan dan sumur resapan besar, serta lemahnya pengelolaan data hidrometeorologi. Selain itu, sanitasi pascabencana jarang menjadi prioritas meskipun dampaknya sangat besar terhadap kesehatan masyarakat. Ia menekankan perlunya keterlibatan akademisi sejak tahap perencanaan, bukan setelah bencana terjadi.
Terkait langkah darurat setelah banjir surut, Dr. Latifa menekankan pentingnya pemulihan sumber air bersih melalui klorinasi sumur, penggunaan sementara air dari PDAM, serta pembersihan lumpur dan sedimen yang membawa kontaminan. Pembersihan fasilitas umum, pengelolaan sampah pascabencana, dan perbaikan drainase menjadi langkah krusial sebelum masyarakat kembali beraktivitas normal.
Sebagai strategi jangka panjang, ia mendorong penerapan rekayasa lingkungan berbasis DAS dan integrasi antara solusi teknis dengan solusi ekologis. Rehabilitasi hutan, restorasi vegetasi riparian, pembangunan kolam retensi, wetland buatan, serta modernisasi drainase berbasis analisis hidrologi menjadi langkah penting untuk mencegah banjir serupa di masa depan. Desain infrastruktur juga harus menyesuaikan kondisi iklim masa kini yang jauh lebih ekstrem dibanding 10–20 tahun lalu.
“Solusi teknis saja tidak cukup. Harus berpadu dengan solusi ekologis dan kebijakan tata ruang yang bijak. Tanpa sinergi ini, banjir akan terus berulang,” tegasnya.
Dr. Latifa juga memberikan pesan kepada masyarakat untuk lebih mengenali risiko wilayah masing-masing, menjaga kebersihan saluran air, tidak membuang sampah ke sungai, dan menjaga ruang hijau di lingkungan sekitar. Ia menekankan bahwa mitigasi banjir tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif masyarakat dalam membangun budaya siaga bencana.
Berbagai pandangan tersebut menegaskan bahwa banjir besar Sumatra hari ini bukan sekadar kejadian sesaat, melainkan sinyal kuat bahwa kerusakan lingkungan nasional telah mencapai titik kritis. (*)
Apa Reaksi Anda?