BP Taskin Usung Pendekatan Graduasi dalam Pengentasan Kemiskinan
Wakil Kepala Badan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) Iwan Sumule menekankan bahwa pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan bantuan sosial.
JAKARTA Wakil Kepala Badan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) Iwan Sumule menekankan bahwa pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan bantuan sosial (bansos).
“Kami mengusung pendekatan graduasi kemiskinan, yang tidak hanya memberi bantuan, tetapi membekali masyarakat agar mandiri,” ucap Wakil Kepala BP Taskin Iwan Sumule usai seminar nasional bersama Universitas Indonesia di UI Salemba Jakarta, Jumat (21/11/1/2025).
Menurutnya, pendekatan graduasi ini mencakup empat pilar seperti pemenuhan kebutuhan dasar, penciptaan pendapatan, pemberdayaan, dan peningkatan tabungan/investasi. “Dengan pendekatan graduasi, kita punya target yang kuat dalam pengentasan kemiskinan,” ujarnya.
Iwan mengungkapkan, kemiskinan ekstrim harus dihapus dan harus nol di akhir tahun 2026 sedangkan kemiskinan sendiri relatif di angka 4,5 sampai 5 persen. “Saat ini angka kita masih di 8,47 persen. Meski angka ini terendah sejak krisis 1998, laju penurunan mulai melambat,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, dalam mewujudkan kemiskinan ekstrim 0%, harus dilakukan dua hal besar dan ia mendorong kombinasi keduanya.
“Pertama adalah berkaitan dengan perlindungan sosial, yang kedua adalah pemberdayaan ekonomi. Jadi mendorong kombinasi dua-duanya ini. Jadi bukan hanya Bantuan Langsung Tunai (BLT) aja, tapi juga pemberdayaan ekonominya harus kita tingkatkan. Sehingga memang graduasi kemiskinan itu benar-benar bisa kita lakukan,” sebutnya.
Ketahanan Pangan sebagai Pilar Pengentasan Kemiskinan Berbasis Kearifan Lokal
Dalam seminar nasional bertemakan "Ketahanan Pangan sebagai Pilar Pengentasan Kemiskinan Berbasis Kearifan Lokal", BP Taskin bersama Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan (SPPB) UI menjadi wadah strategis mempertemukan gagasan, pengalaman, dan praktik terbaik dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Salah satu yang menjadi sorotan seminar adalah pemanfaatan kearifan lokal dalam menciptakan ketahanan pangan. Seperti sistem Subak di Bali, bukan sekadar teknologi irigasi, tetapi filosofi hidup berbasis harmoni. Melalui pengelolaan air yang adil dan gotong royong, Subak mampu menjaga Bali tetap surplus beras meski lahan terbatas.
Sedangkan dari Kabupaten Solok, Sumatera Barat, praktik persawahan tradisional, penyimpanan pangan, dan kuliner fermentasi seperti dadiah menjadi contoh bagaimana nilai budaya dapat menopang ketahanan pangan.
Dalam kesempatan ini, Direktur SPPB UI, Prof. Dr. Supriatna, M.T., menegaskan pentingnya sinergi antara akademisi dan pemerintah. “Universitas memiliki peran strategis dalam menyediakan basis pengetahuan dan riset untuk kebijakan yang berkelanjutan,” katanya.
Dari forum ini diharapkan lahir rekomendasi kebijakan dan jejaring kolaboratif untuk memperkuat ketahanan pangan sebagai pilar pengentasan kemiskinan.
“Kami ingin hasil seminar ini menjadi rujukan nyata bagi pemerintah dan masyarakat,” tutup Iwan Sumule.(*)
Apa Reaksi Anda?