Laporan Asia Cage-Free Tracker 2025 Soroti Lambatnya Transparansi Perusahaan Pangan

Asia Cage-Free Tracker mencatat sistem kandang baterai masih mendominasi praktik produksi telur di kawasan Asia.

Desember 26, 2025 - 16:00
Laporan Asia Cage-Free Tracker 2025 Soroti Lambatnya Transparansi Perusahaan Pangan

JAKARTA Industri pangan di Asia memasuki fase krusial menjelang tenggat komitmen telur bebas sangkar (cage-free) pada 2025. Laporan terbaru Asia Cage-Free Tracker 2025 menilai, meskipun keterlibatan perusahaan meningkat, laju implementasi masih tertinggal dan persoalan transparansi tetap menjadi hambatan utama dalam transisi sistem produksi telur yang lebih berkelanjutan.

Laporan yang dirilis Sinergia Animal ini mengkaji 95 perusahaan pangan yang beroperasi di lima negara kunci ekonomi telur Asia, yakni India, Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Kawasan tersebut dinilai memiliki peran strategis dalam rantai pasok telur global, baik untuk konsumsi domestik maupun ekspor.

Hasil pemantauan menunjukkan, 70,5 persen perusahaan telah mengungkapkan tingkat kemajuan tertentu menuju pengadaan telur bebas sangkar. Angka ini hanya naik tipis dibandingkan capaian tahun 2024 sebesar 69,8 persen. Di sisi lain, hampir 30 persen perusahaan masih belum menyampaikan laporan publik sama sekali. Bahkan, hanya 14,7 persen perusahaan yang tercatat telah sepenuhnya menerapkan sistem bebas sangkar atau berada di jalur yang jelas untuk menuntaskan komitmen mereka hingga akhir 2025.

Lambatnya perkembangan ini menjadi perhatian serius mengingat posisi Asia sebagai produsen utama telur komersial dunia. Thailand berperan penting sebagai pemasok telur dan produk olahan ke pasar ekspor, sementara Indonesia dan Malaysia menjadi penyangga stabilitas pasokan domestik dan regional. India terus memperkuat perannya dalam industri telur bubuk dan produk olahan yang digunakan secara global, sedangkan Jepang—dengan tingkat konsumsi telur per kapita yang tinggi—sangat bergantung pada pasokan bahan baku impor.

Namun demikian, sistem kandang baterai masih mendominasi praktik produksi telur di kawasan ini. Dalam sistem tersebut, ayam dipelihara di ruang yang sangat sempit sehingga tidak dapat mengekspresikan perilaku alaminya, seperti bersarang, bertengger, dan mandi debu. Padahal, metode ini telah dilarang secara bertahap di sejumlah negara, termasuk Uni Eropa, Kanada, dan Selandia Baru. Di Asia, penerapannya masih luas akibat lemahnya implementasi kebijakan dan minimnya keterbukaan pelaporan.

Dalam laporan tersebut, perusahaan diklasifikasikan ke dalam sembilan tingkat (tier) untuk memetakan pihak yang memimpin maupun yang tertinggal dalam proses transisi. Sejumlah perusahaan, seperti Aman Resorts, Capella Hotel Group, Illy Caffè, Lotus Bakeries, Shake Shack, Starbucks, Pizza Marzano, dan The Cheesecake Factory, dinyatakan telah menyelesaikan transisi bebas sangkar di seluruh operasional mereka di Asia. Sementara itu, perusahaan lain, termasuk Bali Buda, Savencia Group, IKEA, Pizza Express, dan ViaVia Restaurant, menyatakan komitmen untuk menuntaskan transisi tersebut hingga akhir 2025.

Meski begitu, laporan juga mencatat masih adanya keterbatasan data regional. Sebanyak 33 perusahaan hanya merilis laporan kemajuan secara global tanpa rincian khusus Asia, sehingga sulit menilai implementasi di tingkat negara. Selain itu, 28 perusahaan lainnya sama sekali tidak menunjukkan transparansi publik terkait komitmen bebas sangkar.

Temuan berdasarkan negara menunjukkan ketimpangan yang cukup mencolok. Indonesia tercatat memiliki jumlah partisipan terbanyak dengan 57 perusahaan, namun konsistensi implementasinya dinilai belum merata. India menunjukkan tingkat pelaporan relatif tinggi, tetapi pelaksanaannya bervariasi.

Jepang menempati posisi terendah dalam hal transparansi, sementara Thailand menunjukkan keterlibatan yang cukup baik meski implementasi lanjutan masih terbatas. Di Malaysia, partisipasi terus bertambah, tetapi sebagian besar perusahaan belum menyampaikan informasi spesifik di tingkat nasional.

“Kami melihat adanya kemajuan, tetapi kecepatannya belum sesuai dengan urgensi yang ada,” ujar Nurkhayati Darunifah, Corporate Accountability Lead Asia sekaligus penulis laporan tersebut.

Ia menegaskan, tahun mendatang akan menjadi periode penentuan bagi perusahaan untuk membuktikan komitmen mereka di tengah meningkatnya tuntutan konsumen terhadap transparansi dan praktik pangan yang bertanggung jawab.

Hal senada disampaikan Managing Director Sinergia Animal Thailand, Saneekan Rosamontri. Menurutnya, mendekati tenggat 2025, komitmen bebas sangkar tidak lagi cukup dinyatakan secara normatif.

“Yang dibutuhkan adalah bukti nyata melalui pelaporan yang terbuka dan langkah implementasi yang tepat waktu. Dari sini akan terlihat apakah Asia mampu mempercepat transisi atau justru menjadi penghambat dalam upaya global meningkatkan kesejahteraan hewan,” ujarnya.

Ke depan, koalisi Act for Farmed Animals yang melibatkan Animal Friends Jogja dan Sinergia Animal International menyatakan akan terus memantau perkembangan serta menjalin kolaborasi dengan pelaku usaha di Asia. Upaya ini dilakukan untuk memastikan standar sistem pangan yang diterapkan selaras dengan ekspektasi global terkait transparansi, tanggung jawab, dan keberlanjutan. (*)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow