Latihan Matematika yang Nempel, Setiap Jawaban Harus Punya “Mengapa”

“Ketika latihan berubah menjadi alasan, jawaban tidak lagi titik akhir. Ia menjadi undangan untuk berpikir lebih jauh. Dan undangan seperti itu, biasanya, tidak mudah dilupakan.”

Desember 20, 2025 - 15:30
Latihan Matematika yang Nempel, Setiap Jawaban Harus Punya “Mengapa”

MALANG “Ketika latihan berubah menjadi alasan, jawaban tidak lagi titik akhir. Ia menjadi undangan untuk berpikir lebih jauh. Dan undangan seperti itu, biasanya, tidak mudah dilupakan.”

Bayangkan latihan matematika seperti treadmill. Kaki bergerak cepat, keringat keluar, tetapi pemandangan tetap itu itu saja. Jawaban muncul, lembar selesai, namun begitu mesin dimatikan, ingatan ikut padam. Cara sederhana agar latihan tidak menjadi treadmill adalah menambahkan satu kata yang sering kita lewatkan: mengapa. Ketika setiap jawaban membawa alasan, latihan berubah dari sekadar langkah menjadi perjalanan yang meninggalkan jejak.

Alasan bekerja seperti jangkar makna. How People Learn II edisi 2018 menegaskan bahwa pemahaman akan lebih tahan lama jika ide baru terhubung ke struktur pengetahuan yang sudah bermakna. Artinya, meminta murid menjelaskan mengapa bukan tambahan kosmetik, melainkan infrastruktur memori. Hattie dan Clarke dalam Visible Learning Feedback tahun 2019 menambahkannya: umpan balik yang baik menunjuk arah berikutnya, bukan hanya memberi cap benar salah. Kalimat sederhana seperti “Mengapa kemiringan garis dihitung dengan selisih y dibagi selisih x” mendorong murid membangun jembatan antara prosedur dan gagasan kemiringan sebagai laju perubahan.

Mari lihat contoh kelas yang mudah dibayangkan. Topiknya gradien garis. Biasanya kita langsung hitung. Kali ini saya minta dua cara untuk satu soal. Cara pertama memakai rumus selisih y dibagi selisih x. Cara kedua menggambar segitiga kecil pada kisi lalu membandingkan naik dan geser. Setelah dua cara menghasilkan nilai yang sama, saya bertanya, “Mengapa keduanya setara. Apa yang tetap meski titik dipindah di garis yang sama.” Obrolan mengalir. Murid menyebut “laju perubahan tetap”, “segitiga serupa”, dan “perbandingan tetap sama”. Inilah saat ketika latihan melahirkan alasan. Jo Boaler dalam Mathematical Mindsets tahun 2016 mendorong banyak jalan menuju ide yang sama agar otak menemukan pola, bukan hanya resep.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Agar “mengapa” tidak menjadi kata manis tanpa mesin, kita perlu merancang panggungnya. Liljedahl melalui Building Thinking Classrooms in Mathematics tahun 2020 menunjukkan bahwa perubahan kecil pada struktur kelas dapat melipatgandakan partisipasi bernalar. Saya meminjam dua idenya: soal pemantik yang tidak langsung memberi langkah, dan kebiasaan memajang berbagai cara siswa untuk dibandingkan. Ketika beberapa cara ditempel berdampingan, kita punya bahan untuk mengajukan dua pertanyaan kunci, “Apa yang sama di semua cara” dan “Apa yang berbeda tetapi tidak mengubah kebenaran.” Pertanyaan ini adalah pintu masuk alami menuju alasan.

Mengorkestrasi diskusi juga butuh strategi. Smith dan Stein dalam edisi kedua 5 Practices for Orchestrating Productive Mathematics Discussions tahun 2018 menawarkan lima langkah sederhana: mengantisipasi, memantau, memilih, mengurutkan, dan menghubungkan. Terjemahkan ke praktik harian begini. Sebelum kelas, saya menebak cara apa saja yang mungkin muncul. Saat kelas berjalan, saya keliling memantau, lalu memilih beberapa cara yang mewakili ide penting. Urutannya tidak acak. Saya mulai dari cara yang paling mudah dipahami lalu bergerak ke cara yang menyorot struktur yang lebih dalam. Penutupnya selalu sama, menghubungkan cara cara itu melalui kalimat yang menyatakan alasan bersama.

Bagaimana dengan penilaian. Wiliam dalam Embedded Formative Assessment edisi 2018 mengingatkan bahwa tugas kita bukan mengumpulkan angka, melainkan bukti belajar. Saya menambahkan satu baris kecil di lembar kerja: “Tulis satu kalimat mengapa jawabanmu masuk akal.” Kadang saya minta “Tulis satu hal yang tetap ketika angka di soal diubah.” Di hari lain, saya menutup kelas dengan tiket keluar satu kalimat yang menjawab “Mengapa dua cara tadi menghasilkan nilai yang sama.” EEF dalam Teacher Feedback to Improve Pupil Learning tahun 2021 merangkum bahwa permintaan penjelasan singkat yang spesifik seperti ini memperkuat dampak umpan balik karena membuat siswa memikirkan langkah berikutnya, bukan sekadar menebak kehendak guru.

Kita juga perlu menata rasa aman. Amanda Jansen lewat Rough Draft Math tahun 2020 mengajak guru merayakan rancangan awal ide siswa. Saya biasanya berkata, “Tunjukkan draf penjelasanmu, nanti kita poles bersama.” Ketika siswa merasa aman mengemukakan draf, kelas bergerak dari pamer jawaban menuju bengkel alasan. Di titik ini humor ringan bukan gangguan. Saat seseorang berkata, “Pak, penjelasan saya masih belepotan,” saya jawab, “Yang penting bukan rapi dulu, yang penting ada alasan. Rapinya kita urus bersama, seperti rambut saat mau foto kelas.” Tawa kecil muncul dan roda diskusi berputar lagi.

Transparansi tujuan juga penting agar “mengapa” tidak terdengar seperti selera pribadi guru. NCTM dalam Catalyzing Change tahun 2018 menekankan kejelasan tujuan dan kriteria keberhasilan. Maka di awal saya tulis, “Hari ini kita belajar menunjukkan mengapa dua cara memberi hasil yang sama dan menamai apa yang tetap.” Ketika kriteria jelas, siswa mengerti ukuran keberhasilan. Mereka tidak lagi bertanya “Nilai saya berapa” tetapi “Apakah alasan saya cukup kuat.” Di sinilah “mengapa” mengubah budaya kelas.

Apakah strategi ini memakan waktu. Sekilas iya, tetapi dampaknya jangka panjang. Powerful Teaching karya Agarwal dan Bain tahun 2019 merangkum bukti bahwa praktik seperti meminta siswa menjelaskan kembali, melakukan penarikan kembali dari ingatan, dan menghubungkan ide baru pada ide lama membuat belajar lebih tahan lama. Tiga sentuhan harian sudah cukup. Minta dua cara untuk satu soal lalu satukan dengan alasan. Minta satu kalimat “mengapa” di setiap jawaban. Tutup dengan pertanyaan singkat tentang apa yang tetap ketika angka diubah. Ketika latihan berubah menjadi alasan, jawaban tidak lagi titik akhir. Ia menjadi undangan untuk berpikir lebih jauh. Dan undangan seperti itu, biasanya, tidak mudah dilupakan. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Isbadar Nursit, SPd., M.Pd Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow