Model Pembelajaran I-CRT, Inovasi Belajar yang Satukan Ilmu dan Budaya
Inovasi dalam dunia pendidikan terus bermunculan seiring kebutuhan membekali siswa dengan keterampilan abad ke-21.

TIMESINDONESIA, MADIUN – Inovasi dalam dunia pendidikan terus bermunculan seiring kebutuhan membekali siswa dengan keterampilan abad ke-21. Tim peneliti dari Unipma Madiun (Universitas PGRI Madiun) memperkenalkan sebuah model pembelajaran baru bernama I-CRT (Inquiry-Culturally Responsive Teaching). Model ini dirancang untuk menjawab tantangan pembelajaran modern yang menekankan pemikiran kritis, kolaborasi, serta kepedulian terhadap konteks sosial dan budaya.
Model ini dikembangkan oleh empat dosen dengan lintas disiplin ilmu berbeda yaitu Dr. W. Linda Yuhanna, M.Si (Pendidikan Biologi), Dr. Raras Setyo Retno, M.Pd (PGSD), Puguh Jayadi, M.Kom (Teknik Informatika) dan Much Fuad Saifudin (Pendidikan Biologi, UAD).
Inovasi I-CRT didanai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM) Kemdiktisaintek, melalui program Penelitian Fundamental Reguler. I-CRT hadir dengan menggabungkan dua pendekatan penting: inkuiri sebagai dasar ilmiah untuk menemukan pengetahuan, serta pembelajaran responsif budaya yang menempatkan nilai, identitas, dan pengalaman sosial budaya siswa sebagai pusat proses belajar.
Dengan kombinasi tersebut, I-CRT tidak hanya berfokus pada capaian akademik, tetapi juga membentuk siswa agar lebih empatik, kritis, dan memiliki kesadaran identitas budaya.
Implementasi I-CRT pada siswa . (Foto: Humas UNIPMA for TIMES Indonesia)
“Model I-CRT merupakan pembelajaran inovatif dan kontekstual, yang menyatukan penyelidikan ilmiah dengan refleksi budaya serta aksi sosial, dan untuk tahun pertama ini kami fokuskan pada kelas 4 mapel IPAS,” ungkap Dr. Linda.
Tujuannya adalah membantu siswa memahami konsep secara mendalam sekaligus mengaitkan pengetahuan dengan realitas sosial di sekitarnya.
I-CRT memiliki tahapan pembelajaran yang dirumuskan secara sistematis. Proses dimulai dari orientasi dan perumusan masalah berbasis sosial budaya, di mana siswa diajak mengenali isu nyata di komunitas mereka. Selanjutnya, siswa diajak merumuskan hipotesis dan berkolaborasi merancang investigasi. Tahap berikutnya adalah mengumpulkan data, lalu melakukan analisis dan interpretasi.
Hasil investigasi tidak berhenti pada laporan ilmiah, melainkan disampaikan melalui konstruksi hasil secara transformasi, yakni penyajian yang mendorong perubahan sikap, wawasan, bahkan aksi sosial. Proses ditutup dengan kesimpulan, refleksi, dan tindak lanjut agar siswa mampu menginternalisasi pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Dengan alur ini, siswa tidak hanya belajar menjawab soal atau menghafal teori, melainkan diajak untuk menyelidiki fenomena, memahami makna budaya, dan mengusulkan solusi nyata.
Keterampilan abad ke-21 menuntut peserta didik memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif. Model I-CRT berupaya menjawab tuntutan tersebut dengan menempatkan siswa sebagai peneliti muda sekaligus agen perubahan sosial.
Implementasi I-CRT pada siswa . (Foto: Humas UNIPMA for TIMES Indonesia)
“Siswa tidak sekadar menguasai konsep, tetapi juga belajar bagaimana pengetahuan dapat digunakan untuk merespons masalah komunitas mereka. Dengan begitu, pembelajaran menjadi lebih hidup, relevan, dan bermakna,” tambah Dr. Raras.
Selain itu, I-CRT juga mendorong lahirnya generasi yang mampu berdialog dengan keberagaman. Kesadaran budaya dan empati menjadi nilai penting yang terintegrasi dalam setiap tahapan. Harapannya, lulusan yang melalui model ini tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara sosial dan emosional.
Dengan semangat inovasi, I-CRT diyakini bisa menjadi alternatif model pembelajaran di sekolah yang sejalan dengan visi profil lulusan.
“Pendidikan harus mengikuti perkembangan zaman, tetapi jangan sampai tercerabut dari akar budaya. Inilah yang ingin dijembatani I-CRT” ungkap Dr. Linda.
Banyak kalangan berharap model ini tidak hanya menjadi penelitian di atas kertas, tetapi juga bisa diadopsi lebih luas oleh lembaga pendidikan. Sebab, tantangan global menuntut generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, melainkan juga bijak secara sosial dan budaya.Dengan lahirnya model pembelajaran I-CRT, dunia pendidikan Indonesia mendapat satu langkah maju.
“Inovasi ini menegaskan bahwa belajar bukan hanya tentang pengetahuan, melainkan juga tentang bagaimana siswa tumbuh menjadi pribadi yang utuh, cerdas, berbudaya, dan siap menghadapi tantangan masa depan,” kata Puguh Jayadi, M.Kom. (*)
Apa Reaksi Anda?






