Refleksi 41 Tahun Ratifikasi CEDAW, DPR: Perlu Melangkah Lebih Jauh Dari Politik Kebijakan ke Politik Harapan

Indonesia telah memasuki usia 41 tahun pasca ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) sejak tahun 1984. Satu persatu peraturan hukum Indonesia telah mengadopsi…

Juli 31, 2025 - 15:30
Refleksi 41 Tahun Ratifikasi CEDAW, DPR: Perlu Melangkah Lebih Jauh Dari Politik Kebijakan ke Politik Harapan

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Indonesia telah memasuki usia 41 tahun pasca ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) sejak tahun 1984. Satu persatu peraturan hukum Indonesia telah mengadopsi amanat dari konvensi. Ada sejumlah pencapaian yang signifikan mulai dari membentuk Kementerian Urusan Wanita di era orde baru. Pendirian Komnas Perempuan di awal reformasi, pengesahan UU Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), UU Tindak Pidana Pemberantasan Perdagangan Orang (UU TPPO), hingga afirmasi kuota 30% dalam UU Pemilu. Bahkan baru 3 tahun lalu DPR bersama Pemerintah mengundangkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Pencapaian-pencapaian demikian menurut Ketua Komisi XIII DPR, Willy Aditya, menjadi catatan penting tentang perbaikan situasi di ranah kebijakan hukum setelah ratifikasi. Namun Catatan baik tersebut masih menyisakan pekerjaan rumah yang tidak kalah penting berupa mengawal dan membersamai aturan hukum yang ada sehingga menjadi praktek budaya baru di masyarakat.

“Disahkannya UU bukan berarti garis akhir perjuangan. Pengawasannya, implementasinya ini menjadi hal yang terus menerus harus dipastikan. Budaya baru anti diskriminasi ini yang harus dipastikan tercipta setelah rekayasa melalui hukum. Ini tidak boleh kita lalaikan setelah menggebu-gebu menghasilkan undang-undang,” ucapnya.

Politisi Partai NasDem ini mengatakan politik legislasi untuk membuat suatu aturan yang diharapkan menjadi implemntasi CEDAW perlu juga diiringi dengan politik anggaran sebagai pendampingnya. Willy mencatat dalam soal penganggaran yang anti diskriminasi hal ini belum cukup memanggil perhatian kelompok yang memberi perhatian terhadap legislasi.

“Bayangkan, di Badan Anggaran DPR saja tidak ada pimpinan yang perempuan. Kita mau anti diskriminasi ini juga terimplementasi di dalam politik anggaran negara. Ini butuh lebih banyak keterlibatan anggota DPR perempuan dan kepemimpinan perempuan untuk memberi arahannya,” tegasnya.

Willy menekankan pentingnya aktivis perempuan dan semua kalangan yang berkepentingan terhadap implementasi anti diskriminasi ini membangun blok politik sehingga dapat menyusun agenda-agenda perubahan yang lebih strategis dan sistematis. Menurutnya blok politik yang demikian ini bukan hanya berisi dan mengundang politisi perempuan, melainkan mengundang siapapun politisi parlemen yang berkepentingan terhadap agenda anti diskriminasi dan menginginkan kesetaraan.

“Ada kaukus perempuan parlemen memang. Namun ini harus dimajukan sebagai blok politik dengan susunan agenda yang jelas untuk mengajak lebih banyak keterlibatan. Artinya ini bukan sekadar politik legislasi dan anggaran. Dia lebih besar dari itu, ini adalah politik harapan yang semua orang bisa terlibat berjuang bersama,” tandasnya.

Mantan aktivis 98 ini menegaskan komitmennya untuk terus bergerak bersama berkolaborasi untuk mewujudkan politik harapan yang dibutuhkan bangsa Indonesia termasuk para perempuan.

“Kalau masih ada peraturan yang dirasa belum akomodatif ayo kita perbaiki. Komisi XIII dengan mitranya kementerian hukum, kementerian setneg, dan lainnya bisa dengan segera dan cepat menuntaskan. Seperti pengalaman kita saat buat UU TPKS, ini kerja kolaboratif untuk kebaikan,” pungkasnya. (*)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow