Saat Tangan Ikut Berpikir: Gesture yang Memahamkan di Kelas Matematika
“Gesture adalah jembatan kayu yang kita letakkan di atas sungai abstraksi. Murid melangkah dengan lebih yakin karena ada sesuatu untuk diinjak.
MALANG “Gesture adalah jembatan kayu yang kita letakkan di atas sungai abstraksi. Murid melangkah dengan lebih yakin karena ada sesuatu untuk diinjak. Begitu mereka sampai seberang, simbol tidak lagi dingin. Ia hangat oleh jejak langkah mereka sendiri. Jika ingin matematika lebih memahamkan, ajak tangan ikut mengajar. Karena sering kali, ketika tangan bicara, otak justru paling tekun mendengar”.
Pernah melihat murid tiba-tiba “ngeh” begitu ia menggerakkan tangan untuk menjelaskan kemiringan garis atau luas segitiga? Di momen itu, tangan bukan sekadar pengiring kata. Ia adalah alat berpikir yang membantu otak merangkum ide yang masih berantakan. Penelitian dua dekade terakhir makin jelas menyatakan hal ini: ketika guru dan murid menggunakan gesture yang tepat, pemahaman bertambah dalam, perhatian lebih terarah, dan ingatan lebih tahan lama. Kita tidak sedang bicara sulap. Kita bicara cara kerja pikiran yang ditolong oleh tubuh.
Secara singkat, gesture memberi “pegangan” visual-motor pada gagasan abstrak. Kita, Alibali, dan Chu menjelaskan dalam ulasan psikologi tahun 2017 bahwa gerak tangan tidak hanya mengikuti bahasa, tetapi membantu membentuk cara kita mengonsepkan sesuatu. Mereka menyebutnya hipotesis gesture untuk konseptualisasi: gesture meringankan beban kognitif dan menata ide agar siap diucapkan. Ketika murid menggerakkan tangan membentuk “naik” lalu “geser” saat menjelaskan gradien, ia sedang memadatkan laju perubahan ke dalam gerak. Itulah mengapa penjelasannya menjadi lebih jernih dan lebih mudah diingat.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Di ruang matematika, bukti empiriknya makin konkret. Nathan dan Walkington dalam artikelnya tahun 2017 tentang Grounded and embodied mathematical cognition menunjukkan bahwa tindakan dan bahasa yang digabungkan bisa memicu lompatan wawasan, bahkan ketika siswa sedang memproduksi bukti geometri. Mereka menyebutnya kognisi matematika yang berpijak pada tubuh: aksi dan gesture tertentu mampu “mendorong” sistem kognisi ke keadaan yang selaras dengan ide matematis yang dituju. Sederhananya, menggerakkan tangan untuk memutar, menumpuk, atau menggeser sering kali membuka jalan menuju argumen yang sebelumnya macet.
Yang menarik, gesture tidak hanya memperjelas, ia juga mengarahkan perhatian ke bagian penting dari penjelasan guru. Studi Congdon dkk. tentang The Impact of Gesture and Prior Knowledge on Visual Attention During Math Instruction menemukan bahwa saat pengajaran matematika diiringi gesture, tatapan siswa lebih terfokus ke informasi kunci sehingga pemrosesan menjadi lebih efisien. Ini kabar baik bagi kita yang sering merasa penjelasan sudah rapi tetapi “tidak mendarat.” Gesture bekerja seperti sorotan panggung: audiens tahu harus melihat ke mana.
Dampak gesture juga bergantung pada siapa yang belajar. Riset terkini menunjukkan pengajaran dengan gesture memberi manfaat istimewa bagi siswa dengan kapasitas memori kerja yang lebih rendah. Alasannya masuk akal: gesture mengambil sebagian beban yang biasanya ditanggung memori kerja, sehingga ruang di kepala lega untuk bernalar. Bayangkan menjelaskan pecahan ekivalen sambil menunjukkan “membagi dan memperkecil” dengan gerak tangan: siswa tidak hanya mendengar, mereka “melihat” logikanya.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan besok pagi? Pertama, selaraskan gerak dengan makna, bukan sekadar dekorasi. Ketika membahas gradien, gunakan gesture “naik lalu geser” yang konsisten; ketika membahas luas, peragakan “menutup bidang” atau “menyusun ulang” agar konservasi luas terasa. Kedua, pamerkan variasi gesture siswa. Minta dua atau tiga kelompok menunjukkan cara mereka menjelaskan, lalu tanyakan apa yang sama pada semua gerak itu. Pertanyaan “apa yang sama dan apa yang berbeda” mengantar kelas dari gerak ke konsep. Ketiga, ajak siswa “merekam” gesture kunci sebagai kata-sandi memori. Tidak harus formal; cukup kesepakatan sederhana, misalnya isyarat dua jari menyatakan “tegak lurus”.
Tentu kita tetap butuh kata dan simbol. Tetapi alur yang kuat sering bergerak dari aksi ke kata lalu ke simbol. Ulasan sintesis oleh Martinez-Lincoln, Tran, dan Powell merangkum banyak studi pengajaran matematika: gesture guru dan gesture siswa sama-sama berperan, asalkan dikaitkan dengan tujuan pembelajaran dan diikuti ajakan menjelaskan. Dengan kata lain, tangan memberi pijakan, mulut memberi alasan. Keduanya saling menguatkan.
Bagi yang ingin rujukan populer dan segar, Susan Goldin-Meadow merangkum puluhan tahun risetnya dalam buku Thinking with Your Hands terbit 2023. Pesannya sederhana dan tajam: ketika tangan bergerak, pikiran ikut bergerak. Buku ini penuh contoh kelas dan eksperimen yang memudahkan kita merancang pengajaran yang “ramah gesture” tanpa harus menambah jam pelajaran. Bahkan Royal Society baru-baru ini menerbitkan ajakan kolaborasi peneliti dan pendidik agar temuan tentang gesture lebih cepat menyebar ke praktik. Singkatnya, ini bukan tren musiman. Ini pergeseran cara kita memandang belajar.
Apakah semua ini akan memakan waktu? Sedikit, di awal. Tetapi imbalannya terasa: diskusi lebih hidup, miskonsepsi lebih cepat tampak, dan hasil kerja di kertas lebih beralasan. Dan jangan lupakan humor kecil untuk menjaga energi. Saat ada yang bingung, saya kadang berkata, “Coba tanganmu bicara dulu, biar mulutnya menyusul.” Kelas tertawa, bahu mengendur, dan ide pun mengalir lagi.
“Gesture adalah jembatan kayu yang kita letakkan di atas sungai abstraksi. Murid melangkah dengan lebih yakin karena ada sesuatu untuk diinjak. Begitu mereka sampai seberang, simbol tidak lagi dingin. Ia hangat oleh jejak langkah mereka sendiri. Jika ingin matematika lebih memahamkan, ajak tangan ikut mengajar. Karena sering kali, ketika tangan bicara, otak justru paling tekun mendengar”.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Isbadar Nursit, S.Pd., M.Pd Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
Apa Reaksi Anda?