Saat Teorema Turun ke Sekolah: Menyaring Ilmu Menjadi Pelajaran yang Masuk Akal
Bayangkan matematika ilmiah sebagai kopi biji utuh di gudang riset. Wangi, pekat, tetapi belum bisa diminum
MALANG “Bayangkan matematika ilmiah sebagai kopi biji utuh di gudang riset. Wangi, pekat, tetapi belum bisa diminum. Tugas kita di sekolah adalah menyangrai, menggiling, dan menyeduhnya agar layak diseruput oleh siswa di bangku kelas”
Bayangkan matematika ilmiah sebagai kopi biji utuh di gudang riset. Wangi, pekat, tetapi belum bisa diminum. Tugas kita di sekolah adalah menyangrai, menggiling, dan menyeduhnya agar layak diseruput oleh siswa di bangku kelas. Proses penyaringan dari “ilmu para ahli” menjadi “ilmu yang diajarkan” itulah yang oleh Yves Chevallard disebut transposisi didaktik dalam bukunya La Transposition Didactique: Du savoir savant au savoir enseigné terbitan 1985 yang kemudian banyak digunakan di edisi 1991. Intinya, pengetahuan harus dipilih, diurut, diberi konteks, dan diberi tujuan agar dapat menjadi pengalaman belajar yang bermakna, bukan sekadar daftar rumus.
Masalah muncul ketika kopi hanya digiling setengah jalan. Kita memindahkan hasil akhir riset ke papan tulis tanpa menyertakan alasan, fenomena pemanggil, serta “rasa” yang membuat konsep hidup. Akibatnya, pelajaran jadi seperti manual mesin yang terputus dari mesin itu sendiri. Siswa menghafal langkah, tetapi tidak punya pegangan ketika bentuk soal berubah sedikit saja. Di titik ini, transposisi didaktik bukan perkara menyederhanakan, melainkan memutuskan apa yang esensial untuk tetap dibawa turun ke kelas.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Ambil contoh limit dan turunan. Di kampus, definisi formal dengan epsilon dan delta memberi fondasi kuat. Di sekolah, kita tidak selalu memulai dari sana. Namun ada inti yang tidak boleh hilang, yakni gagasan pendekatan dan laju perubahan. Jika inti ini tenggelam, turunan berubah menjadi sekadar trik “naikkan pangkat lalu kurangi satu”. Transposisi yang cermat akan memanggil konsep lewat fenomena pergerakan, kemiringan grafik, dan perubahan yang kecil sekali sebelum memperkenalkan simbol yang lebih formal. Arahnya sejalan dengan temuan PISA 2022 Results, Volume I terbitan 2023 yang menekankan penalaran matematis sebagai kemampuan utama yang harus dibangun, bukan hanya keterampilan mengeksekusi algoritme yang terpisah dari makna.
Transposisi yang baik juga memikirkan urutan pengalaman. Manu Kapur menunjukkan dalam telaah tentang “productive failure” pada 2016 bahwa memberi ruang bagi siswa untuk mencoba memecahkan masalah yang menantang sebelum pengajaran eksplisit dapat meningkatkan transfer dan pemahaman mendalam. Ini bukan melempar mereka tanpa pelampung, melainkan mengundang mereka meraba pola sehingga ketika definisi dan prosedur resmi datang, ia terasa sebagai jawaban untuk pertanyaan yang sudah lahir. Di kelas turunan, misalnya, biarkan siswa membandingkan dua grafik posisi terhadap waktu, menaksir laju sesaat dengan “naik banding geser”, baru setelah itu kita selaraskan dengan notasi dan aturan.
Satu risiko transposisi adalah “kebocoran makna” ketika kita hanya menyajikan satu cara. Rebecca Rittle-Johnson, Jon Star, dan kolega pada 2017 menunjukkan bahwa membandingkan beberapa strategi dapat menumbuhkan fleksibilitas prosedural dan konsep yang lebih kokoh. Ini kabar penting bagi guru.
Saat mengajarkan turunan pangkat, tampilkan pula pendekatan kemiringan sekan menuju tangen pada grafik. Saat mengajarkan persamaan kuadrat, jangan biarkan melengkapkan kuadrat hilang ditelan rumus cepat. Dengan dua atau tiga jalan yang saling kita hubungkan, siswa melihat invarian di balik variasi. Mereka mengerti mengapa cara yang berbeda akhirnya bertemu di ide yang sama.
Bagaimana wujud transposisi di meja kerja guru. Saya selalu memulai dengan tiga pertanyaan ringkas. Pertama, apa inti yang tidak boleh hilang dari versi ilmiah konsep ini sehingga siswa tetap punya kompas ketika bentuk soal berubah. Kedua, fenomena apa yang bisa memanggil inti itu ke permukaan sehingga alasan hadir lebih dulu daripada nama. Ketiga, representasi mana yang perlu diperlihatkan berdampingan agar siswa melihat apa yang sama dan apa yang berbeda tanpa kita berkhotbah. Ketika tiga pertanyaan ini dijawab, rencana pelajaran biasanya lebih jernih. Kita tahu kapan memperlambat untuk memberi ruang makna dan kapan mempercepat agar tidak terseret detail yang belum perlu.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Transposisi bukan berarti menunda ketepatan. Ia berarti menata saat yang tepat. Kita boleh menahan simbol formal satu dua pertemuan jika itu membuat gagasan berakar, lalu menguatkannya dengan definisi yang rapi. Chevallard mengingatkan bahwa pengetahuan sekolah selalu merupakan hasil keputusan institusional. Karena itu transparansi tujuan penting sejak awal. Tulis secara jelas kepada siswa bahwa hari ini kita mengejar gagasan laju perubahan, besok kita akan memformalkan notasinya, lusa kita akan menghubungkannya ke aturan turunan. Dengan peta seperti ini, siswa tidak merasa digiring oleh selera guru, melainkan diajak menempuh rute yang masuk akal.
Apakah semua ini memakan waktu. Sekilas ya. Namun investasi makna di awal biasanya kembali dalam bentuk lebih sedikit remedial di akhir. Siswa yang mengerti inti dapat bernapas ketika soal mengubah baju. Mereka tahu apa yang tetap dan apa yang hanya kosmetik. Dan suasana kelas terasa lebih hidup. Sambil menjaga fokus, kita boleh menyisipkan humor singkat. Ketika ada yang bertanya apakah turunan itu benar benar penting, saya jawab, “Kalau hidupmu berubah cepat, turunan adalah alat ukur perasaan grafikmu.” Tawa kecil muncul, ketegangan turun, dan diskusi kembali ke inti.
Transposisi didaktik adalah seni menyeduh. Biji kopi terbaik bisa hambar jika diseduh serampangan. Sebaliknya, biji yang sederhana bisa memikat ketika waktu, suhu, dan takaran dijaga. Chevallard memberi kita bahasanya. Kapur, Rittle-Johnson dan Star, serta PISA 2022 memberi kita bukti segarnya. Tugas kita adalah menyajikan cangkir yang wangi dan hangat itu setiap hari, sehingga matematika ilmiah benar benar bisa diminum di sekolah, meninggalkan aftertaste berupa alasan yang tahan lama di ingatan. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Isbadar Nursit, SPd., M.Pd Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
Apa Reaksi Anda?