Kebijakan Tarif Impor Baru AS, Momentum UMKM Ekspor ke Pasar Global
Enam belas hari menjelang Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), tepatnya pada 1 Agustus 2025, negeri ini seolah mendapat kado spesial.

TIMESINDONESIA, MALANG – Enam belas hari menjelang Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), tepatnya pada 1 Agustus 2025, negeri ini seolah mendapat kado spesial. Yakni kebijakan resmi Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menerapkan tarif “hanya” 19% terhadap produk Indonesia yang masuk ke AS.
Saya sebut “hanya” karena dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, tarif untuk Indonesia terbilang paling rendah. Malaysia kena tarif 25% , Filipina 20% dan Thailand 36%. Apalagi sebelumnya AS bersikukuh menetapkan tarif untuk Indonesia sebesar 32%. Karena hasil diplomasi intens antara Presiden RI Prabowo Subianto dengan Donald Trump, akhirnya tarif turun hingga 19%.
Tentu saja di balik kebijakan ini, jika dianalisai dari berbagai sudutada sisi negatif dan positif bagi Indonesia. Sisi positifnya, peluang produk Indonesia melakukan pentrasi ke tingkat global semakin terbuka lebar. Padahal sebelumnya, sejak ada rencana kebijakan tarif impor naik menjadi 32% saja, ekspor produk Indonesia ke AS sempat terhenti.
Bisa dibayangkan, berapa besarnya kerugian Indonesia jika produknya tidak bisa masuk ke AS karena tingginya tarif. Padahal AS selama ini menjadi salah satu pasar terbesar untuk produk Indonesia sektor
Terlepas ada sisi negatif dari kebijakan AS ini, saya kira ini momentum bagi produk Indonesia baik dari Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) maupun dari industri besar untuk melakukan penetrasi ke pasar global. Di saat negara-negara lain sedang terhimpit tarif impor yang tinggi, Indonesia masih punya ruang longgar untuk bernapas. Beban ekspor bagi produk Indonesia tidak sebesar negara ASEAN lain. Sehingga saatnya tancap gas melakukan ekspor besar ke belahan dunia.
Sekali lagi saya sampaikan, Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) sebagai wadah mengawal UMKM berdaya, siap berkomitmen tidak saja menjadi jembatan dengan korporasi besar, tapi juga membuka jejaring ke luar negeri.
Penjajakan kerja sama tidak hanya dengan AS, tapi menguatkan hubungan kemitraan dengan negara Asia tidak kalah penting. Secara strategis ekonomi, langkah ini perlu dilakukan di saat hubungan AS dengan China dalam bidang ekonomi sedang tidak baik. Dua negara raksasa itu sedang berebut pengaruh di mata dunia dan saling menganggap sebagai negara paling kuat secara ekonomi dan politik. Justru kondisi ini menjadi peluang bagi Indonesia.
Kalau saat ini AS dan China begitu agresif dalam berbagai lini ekonomi, maka Indonesia bersama negara lain di ASEAN juga jangan kalah agresif. Potensi sumber daya di ASEAN sangat besar ketika beberapa negara menjalin kemitraan bisni. Produk-produk dengan kualitas dan harga bersaing mayoritas berada di ASEAN, salah satunya di Indonesia. Sebagai negara besar di kawasan ASEAN, Indonesia sudah saatnya menjadi pelopor membangun solidaritas untuk kepentingan ekonomi secara bersama. Indonesia punya kekuatan produk pertanian, perikanan dan pertambangan. Kekuatan ini yang tidak banyak dimiliki negara lain.
Saya yakin, ketika kerjasama regional ini berjalan secara solid, Indonesia bukan saja memiliki ketahanan ekonomi yang kuat, tapi juga bisa memimpin transformasi ASEAN menjadi kekuatan ekonomi yang lebih mandiri, tangguh, dan dihormati di pentas global. Indonesia dan negara ASEAN lain kian disegani. Sehingga produk UMKM dan industri tanah air bisa terus penetrasi di pasar ASEAN hingga pasar global sehingga tidak terlalu bergantung pada AS.
Apa Reaksi Anda?






