Mengapa Siswa Menebak “Maunya Guru”? Membongkar Kontrak Tak Terlihat di Kelas
“Ketika kontrak baru terbangun, siswa tidak lagi membaca raut guru. Mereka membaca struktur, memeriksa alasan, dan pulang dengan keyakinan yang lahir dari bukti, bukan dari tebak tebakan”
MALANG “Ketika kontrak baru terbangun, siswa tidak lagi membaca raut guru. Mereka membaca struktur, memeriksa alasan, dan pulang dengan keyakinan yang lahir dari bukti, bukan dari tebak tebakan”
Pernahkah Anda memberi soal, lalu sebelum kalimat selesai siswa sudah mengacungkan tangan dengan jawaban yang pas di telinga, tetapi kosong di alasan? Seakan mereka sedang membaca wajah kita, bukan membaca soal. Itulah gejala “menebak maunya guru”.
Di baliknya ada kontrak tak terlihat di kelas: kebiasaan, isyarat, dan pola respons yang diam diam memberi tahu siswa apa yang dihargai. Jika yang paling sering kita puji adalah cepat, rapi, dan satu angka akhir, mereka akan mengejar tiga hal itu. Jika yang paling sering kita tanyakan adalah “berapa”, jangan heran bila “mengapa” menguap.
Brousseau menyebutnya kontrak didaktik dalam Theory of Didactical Situations in Mathematics. Intinya, guru dan siswa tanpa sadar membuat kesepakatan tentang apa yang dianggap tugas mereka. Guru memberi sinyal, siswa belajar membaca sinyal itu. Masalah muncul ketika sinyal mendorong tebakan, bukan penalaran. Brousseau juga menekankan pentingnya devolution, yakni saat guru menyerahkan masalah agar siswa bernegosiasi dengan lingkungan tugas atau milieu. Ketika milieu memberi umpan balik yang jelas, siswa tidak perlu menebak wajah guru; mereka cukup berdialog dengan masalahnya.
Mari lihat tiga sumber umum lahirnya kontrak tak terlihat. Pertama, pola soal yang mudah ditebak. Misalnya urutan latihan yang selalu diakhiri angka bulat cantik. Siswa belajar, jika ragu, pakai angka yang rapi. Kedua, kebiasaan guru menyelamatkan terlalu cepat. Begitu siswa macet lima detik, kita memberi langkah kunci. Pesan yang terbawa: jangan bersusah payah, nanti juga diberi jalan pintas. Ketiga, pujian yang dangkal. Kita berkata bagus karena cepat, bukan karena argumen yang kuat. Pada akhirnya, kelas menjadi panggung tebak isyarat.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Bagaimana membongkar kontrak ini tanpa mengubah kurikulum secara drastis? Saya menawarkan empat gerak kecil.
Pertama, nyatakan tujuan dan kriteria secara terang. NCTM dalam Catalyzing Change (2018) mendorong kejelasan tujuan dan ukuran keberhasilan. Di awal tulis satu kalimat, hari ini kita akan membuktikan mengapa dua cara memberi hasil sama dan menamai apa yang tetap. Sejak awal siswa tahu bahwa alasan adalah tiket masuk, bukan bonus hiasan.
Kedua, ubah panggung agar pikirannya yang menonjol, bukan tebakannya. Liljedahl dalam Building Thinking Classrooms in Mathematics (2020) menunjukkan bahwa bekerja di papan vertikal, kelompok acak, dan soal pemantik yang tidak memberi resep dapat melipatgandakan partisipasi bernalar. Saat banyak cara terpajang, kita bisa bertanya apa yang sama di semua cara dan apa yang berbeda tetapi tidak mengubah kebenaran. Pertanyaan ini menutup jalan pintas tebak tebakkan, sebab jawabannya tinggal di struktur, bukan di wajah guru.
Ketiga, rawat draf gagasan. Jansen dalam Rough Draft Math (2020) mengajak kelas memperlakukan ide awal sebagai rancangan yang sah untuk disempurnakan. Ketika siswa merasa aman berkata saya belum yakin tetapi saya pikir begini, kita menggeser budaya dari menebak ke menimbang. Humor ringan membantu. Saat ada yang bergumam pak saya takut salah, saya jawab tenang, kita belum mencari kunci jawaban, kita sedang membuat kuncinya. Biasanya senyum muncul dan bahu turun.
Keempat, biarkan milieu berbicara. Rancang situasi di mana lingkungan memberi umpan balik otomatis. Misalnya, pada topik luas, minta siswa menyusun potongan bangun menjadi bentuk lain dengan luas sama. Jika susunannya salah, ruang kosong terlihat. Tidak perlu menunggu anggukan guru. Pada persamaan, pakai konteks timbangan. Jika dua sisi tidak setara, timbangan imajiner akan miring. Dengan cara ini, siswa belajar berdialog dengan masalah, bukan berburu petunjuk di wajah.
Contoh konkret. Pada topik sudut bertolak belakang, alih alih langsung menagih definisi, saya berikan gambar dua garis berpotongan dan minta dua kelompok berbeda menjelaskan mengapa sudut yang berhadapan sama besar. Satu kelompok memakai argumen jumlah sudut lurus, kelompok lain memakai kongruensi. Saya lalu bertanya jika garisnya tidak berpotongan, apakah pernyataan tadi masih bermakna. Diskusi kecil ini menunjukkan bahwa syarat berpotongan adalah bagian dari kalimat, bukan tebakan selera guru. Kontrak lama mulai bergeser: yang dihargai adalah kalimat lengkap dengan alasan, bukan jawaban yang terdengar akrab.
Apakah langkah langkah ini memakan waktu? Di awal terasa, tetapi imbalannya kembali sebagai penghematan remedi. Ketika kebiasaan menimbang sudah tumbuh, siswa tidak lagi bertanya ini maunya bapak apa, melainkan bertanya apakah alasan saya cukup kuat. Hasil kerja di kertas lebih jernih dan diskusi lebih hidup. Kita tetap bisa menyelipkan candaan untuk menjaga energi. Saat kelas menunggu anggukan persetujuan, saya berkata jangan lihat wajah saya, lihat argumenmu. Wajah bisa salah fokus, bukti jarang.
Pada akhirnya, urusan “menebak maunya guru” bukan tentang niat buruk siswa. Ini tentang kontrak tak terlihat yang kita biarkan bertahan. Dengan tujuan yang jelas, panggung yang mendorong berpikir, budaya draf yang aman, dan milieu yang memberi umpan balik, kita menegosiasi ulang kontrak itu. Brousseau mengingatkan peran devolution untuk mengalihkan pusat perhatian dari guru ke masalah. Riset mutakhir memberi kita alat untuk menata ulang kelas. Ketika kontrak baru terbangun, siswa tidak lagi membaca raut guru. Mereka membaca struktur, memeriksa alasan, dan pulang dengan keyakinan yang lahir dari bukti, bukan dari tebak tebakan. (*)
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Isbadar Nursit, S.Pd., M.Pd Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
Apa Reaksi Anda?