Santai Belajarnya, Santai Pikirannya: Krisis Serius Pendidikan Kita

Masalah pendidikan nampaknya tidak kunjung usai, pada saat derasnya kampanye tentang “merdeka belajar”, banyak pelajar justru hidup dalam paradigma “santai belajar, santai berpikir”.

Desember 11, 2025 - 14:00
Santai Belajarnya, Santai Pikirannya: Krisis Serius Pendidikan Kita

MALANG Masalah pendidikan nampaknya tidak kunjung usai, pada saat derasnya kampanye tentang “merdeka belajar”, banyak pelajar justru hidup dalam paradigma “santai belajar, santai berpikir”. Mereka lebih akrab dengan layar gawai daripada bercengkrama dengan buku teks. Terlebih lagi ada banyak anak lebih tertarik mengejar konten viral daripada mencari pengetahuan baru.

Slogan kebebasan belajar yang seharusnya memerdekakan kreativitas, saat ini justru disalahartikan sebagai kebebasan tanpa arah. Fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia tengah menghadapi krisis pendidikan yang jauh lebih serius dari sekadar rendahnya nilai ujian atau skor PISA—yaitu krisis orientasi, semangat, dan kesungguhan belajar.

Data dari BPS dalam Statistics of Education 2024 memperlihatkan bahwa indeks partisipasi pendidikan memang meningkat, tetapi kualitas belajar stagnan. Laporan UNICEF (2024) tentang learning loss pascapandemi juga memperingatkan bahwa jutaan anak Indonesia mengalami penurunan kemampuan membaca dan berhitung yang signifikan. Ironisnya, alih-alih memperketat kualitas pembelajaran, banyak lembaga pendidikan justru semakin longgar dalam disiplin belajar.

Siswa diizinkan belajar “santai”, tugas dikurangi atas nama kesehatan mental, dan standar akademik kerap diturunkan agar semua terlihat baik-baik saja. Padahal, dalam kenyataannya, sistem pendidikan kita sedang kehilangan daya juangnya.

Penelitian Manik Sidauruk dkk. (2025) mengungkap bahwa ketimpangan pendidikan dan lemahnya sistem pembinaan guru memperparah kondisi ini. Ketika kualitas pengajaran tidak merata, siswa dari berbagai daerah terjebak dalam kualitas belajar yang tidak kompetitif. Mereka menjadi korban dari sistem yang santai bukan karena mereka malas, tetapi karena lingkungan belajarnya tidak menuntut kesungguhan. Dalam konteks ini, “santai belajar” bukanlah pilihan individu semata, melainkan cerminan struktur pendidikan yang permisif dan tidak menantang intelektualitas siswa.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Masalahnya semakin kompleks ketika kita melihat sisi lain: guru. Kajian Ferdina, Isnaini, dan Arnoldi (2024) menyebut Indonesia kekurangan lebih dari satu juta guru berkualitas. Banyak pendidik mengajar di luar kompetensinya, tanpa dukungan pelatihan profesional berkelanjutan. Akibatnya, ruang kelas kehilangan figur penggerak yang mampu membangkitkan semangat belajar. Guru yang seharusnya menjadi inspirator sering kali terjebak pada rutinitas administratif, sehingga kehilangan peran sebagai pemandu pemikiran. Di sinilah akar dari “santai pikirannya” para pelajar: ketika pendidiknya pun kehilangan daya kritis dan idealisme pendidikan.

Lebih jauh lagi, krisis pendidikan Indonesia bukan hanya soal sumber daya, tetapi juga soal arah. Artikel National Identity Crisis of Indonesian Education in the Global Era (2024) menyebut bahwa pendidikan kita mengalami krisis identitas—tidak tahu apakah hendak menanamkan nilai kebangsaan, mengejar prestasi global, atau sekadar menyesuaikan diri dengan tren digital. Akibatnya, sekolah-sekolah kehilangan misi moralnya. Siswa belajar untuk nilai, bukan untuk makna. Mereka menjadi pintar secara teknis, tetapi miskin secara etis.

Kondisi ini diperparah oleh budaya instan yang berkembang di masyarakat. Ketika kesuksesan diukur dari kecepatan, bukan proses, maka kesabaran dan ketekunan kehilangan tempat. Banyak siswa yang menilai pendidikan hanya sebagai formalitas, bukan perjalanan intelektual. Bahkan di perguruan tinggi, budaya copy-paste tugas, ujian daring tanpa pengawasan, dan skripsi instan menjadi gambaran nyata dari krisis mentalitas belajar. Kita telah menciptakan generasi yang nyaman dengan kemudahan, tetapi lemah menghadapi kesulitan.

Laporan Kementerian Pendidikan (Antara, 2023) tentang kekurangan guru memperkuat sinyal darurat itu. Kekosongan peran pendidik membuat banyak siswa belajar secara mekanis tanpa pendampingan emosional. Akibatnya, proses pendidikan kehilangan sentuhan manusiawi—yang seharusnya menjadi jantung dari pembentukan karakter. Anak-anak belajar, tetapi tidak tumbuh. Mereka menguasai teori, tetapi kehilangan adab berpikir dan etos kerja.

Dari berbagai temuan itu, jelas bahwa krisis pendidikan kita bukan semata soal metode atau kurikulum, melainkan tentang hilangnya kesungguhan dalam belajar dan mengajar. Sistem yang terlalu longgar membuat semangat belajar merosot. Guru kehilangan kendali, siswa kehilangan arah, dan institusi pendidikan kehilangan misi. Paradigma “belajar santai” mungkin terdengar ramah dan modern, tetapi tanpa fondasi kedisiplinan dan tanggung jawab, ia hanya melahirkan generasi yang rapuh secara mental dan dangkal secara intelektual.

Pada akhirnya, semua masalah yang terjadi akibat merosotnya kapasitas pendidikan minim litrasi ini menguatkan terkait pentingnya menyeimbangkan kebebasan belajar dengan kesungguhan berpikir. Merdeka belajar bukan berarti bebas tanpa arah, tetapi bebas untuk tumbuh dalam tanggung jawab. Jika pendidikan terus dibiarkan dalam pola santai dan permisif, maka yang lahir bukan generasi kreatif, melainkan generasi yang kehilangan daya tahan menghadapi tantangan zaman. Pola pendidikan yang benar seharusnya menumbuhkan ketekunan, disiplin, dan adab berpikir—karena di tengah perubahan dunia yang cepat dan tak menentu, hanya mereka yang serius belajar dan beradab berpikirlah yang akan mampu bertahan. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow