Kecepatan Beradaptasi Jadi Penentu Masa Depan Bisnis di Tengah Laju Digitalisasi

Transformasi digital kini menjadi penentu keberlangsungan dan daya saing perusahaan di Indonesia. Berbagai analisis McKinsey menegaskan bahwa adopsi AI dan generative AI berpotensi besar mendorong pro

Desember 8, 2025 - 13:30
Kecepatan Beradaptasi Jadi Penentu Masa Depan Bisnis di Tengah Laju Digitalisasi

JAKARTA Transformasi digital kini menjadi penentu keberlangsungan dan daya saing perusahaan di Indonesia. Berbagai analisis McKinsey menegaskan bahwa adopsi AI dan generative AI berpotensi besar mendorong produktivitas dan efisiensi, tergantung kesiapan industri dan integrasinya dalam proses bisnis. 

Di sisi lain, World Economic Forum memperkirakan lebih dari 70% nilai baru dekade mendatang akan ditopang oleh model bisnis berbasis platform digital, menandakan digitalisasi telah menjadi kebutuhan struktural bagi perusahaan untuk tetap relevan.

Perubahan perilaku konsumen Indonesia juga menguatkan urgensi tersebut. Laporan Google, Temasek, dan Bain & Company dalam eConomy SEA 2025 mencatat bahwa 62% konsumen Asia Tenggara kini mengambil keputusan pembelian yang dipengaruhi fitur berbasis kecerdasan buatan.

Pergeseran ini menuntut perusahaan menata ulang strategi pemasaran, operasional, dan layanan pelanggan agar mampu menghadirkan pengalaman yang cepat, personal, dan konsisten.

Prof. Agus W. Soehadi, Guru Besar Pemasaran dan Branding Universitas Prasetiya Mulya, menegaskan bahwa digitalisasi harus dipahami sebagai proses transformasi strategis yang mencakup perubahan budaya organisasi, pola pikir kepemimpinan, dan model bisnis yang lebih responsif terhadap dinamika teknologi dan preferensi konsumen.

Era masyarakat digital ditandai oleh tingkat keterhubungan yang tinggi, interaksi real-time, dan meningkatnya peran konsumen sebagai ko-kreator nilai. Konsumen tidak lagi sekadar pengguna akhir, tetapi juga pemberi masukan sekaligus penentu reputasi merek. 

Oleh sebab itu, pengalaman pelanggan menjadi parameter penting dalam menentukan keberhasilan sebuah perusahaan.

“Di era masyarakat digital, keunggulan bersaing tidak lagi ditentukan oleh ukuran perusahaan, melainkan oleh kecepatan belajar, beradaptasi, dan berinovasi,” ujar Agus.

Agus menekankan bahwa keunggulan bersaing di era digital bertumpu pada tiga pilar utama yang saling menguatkan. Pilar pertama adalah pengambilan keputusan berbasis data, yakni kemampuan perusahaan memanfaatkan data pelanggan dan tren pasar untuk mengambil keputusan yang lebih presisi dan relevan. 

Pilar berikutnya adalah keunggulan pengalaman pelanggan, yaitu menghadirkan pengalaman yang konsisten, personal, dan bernilai emosional sehingga membangun kedekatan dan loyalitas jangka panjang.

Pilar terakhir adalah agilitas organisasi—kemampuan merespons perubahan eksternal dengan cepat, tepat, dan adaptif. Ketiga pilar ini, apabila dijalankan secara terpadu, akan memperkuat posisi perusahaan dalam menghadapi dinamika kompetisi digital yang kian kompleks.

Contoh keberhasilan penerapan pilar tersebut dapat dilihat dari sejumlah perusahaan digital terkemuka di Indonesia seperti Sociolla, Shopee, dan Traveloka.

Mereka menunjukkan bagaimana budaya organisasi yang adaptif, kolaboratif, dan berbasis data mampu mempercepat proses inovasi. Budaya ini memberi ruang untuk bereksperimen, belajar dari kegagalan, serta berkolaborasi bersama pelanggan dan mitra dalam pengembangan produk.

Selain itu, Agus menyoroti peran strategis kepemimpinan dalam mendorong transformasi digital. Pemimpin modern tidak hanya mengambil keputusan, tetapi juga menjadi penggerak perubahan budaya.

Kepemimpinan digital membutuhkan tiga kompetensi utama: visionary mindset, empathetic leadership, dan learning agility, yang memungkinkan organisasi menavigasi ketidakpastian sekaligus memanfaatkan peluang baru secara efektif.

Keunggulan bersaing pada era saat ini juga diperkuat oleh kolaborasi lintas sektor. Implementasi QRIS, yang melibatkan regulator, perusahaan teknologi finansial, dan sektor ritel, menjadi contoh nyata keberhasilan pengembangan solusi ekosistem yang memberikan nilai bagi pelanggan sekaligus efisiensi bagi dunia usaha. 

Di sisi lain, pemanfaatan teknologi tetap harus dijalankan dengan prinsip kemanusiaan, seperti empati, integritas, dan kreativitas, sehingga digitalisasi berfungsi sebagai alat pemberdayaan dan bukan pengganti interaksi manusia.

“Keunggulan bersaing di era digital tidak semata ditentukan oleh kecanggihan teknologi, tetapi oleh kemampuan organisasi memaknai teknologi melalui pendekatan yang humanis dan berorientasi pada nilai. Perusahaan yang mampu beradaptasi, memahami pelanggannya secara autentik, dan menumbuhkan budaya inovasi berkelanjutan akan menjadi pemimpin pasar masa depan,” jelas Agus.

Lebih jauh, Agus menegaskan, “Transformasi digital bukan tentang menjadi yang paling digital, tetapi menjadi yang paling relevan. Relevansi adalah mata uang baru dalam persaingan bisnis modern.”

Transformasi digital tidak hanya memerlukan kemampuan teknologis, tetapi juga visi strategis, kolaborasi ekosistem, serta keberanian menghadirkan nilai berkelanjutan bagi pelanggan dan masyarakat. (*)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow