Keputusan 30 Detik di Kelas: Kerangka Kecil untuk Momen Besar
“Keputusan 30 detik adalah seni meramu kopi di tengah keramaian. Air tidak boleh terlalu panas, bubuk jangan kebanyakan, dan cangkir harus siap. Dengan STOP, Simak, Tujuan, Opsi, dan Putuskan, kita pu
MALANG “Keputusan 30 detik adalah seni meramu kopi di tengah keramaian. Air tidak boleh terlalu panas, bubuk jangan kebanyakan, dan cangkir harus siap. Dengan STOP, Simak, Tujuan, Opsi, dan Putuskan, kita punya resep yang sederhana tetapi tangguh”
Setiap guru matematika tahu detik-detik genting itu: kelas mulai riuh, dua kelompok bersitegang soal “jalan yang benar”, seorang siswa buntu tepat ketika waktu hampir habis. Dalam 30 detik, kita harus memilih langkah. Jika salah arah, pelajaran terasa macet; jika tepat, kelas bergerak lagi seperti roda yang baru dipompa. Tulisan ini menawarkan kerangka mikro untuk momen-momen kritis itu secara ringkas, manusiawi, dan bisa dipakai besok pagi.
Saya menyebutnya STOP: Simak – Tujuan – Opsi – Putuskan. Bukan mantra ajaib, melainkan jembatan kecil agar naluri baik kita bertemu bukti yang kuat.
Simak berarti menenangkan diri sepersekian menit untuk mendengar pemikiran yang sedang terjadi, bukan hanya melihat gejala. Tanyakan cepat dalam hati: “Apa ide yang sedang mereka coba kerjakan?” Di sini kita butuh membuat pemikiran tampak. Ritchhart dan Church dalam The Power of Making Thinking Visible (2020) mengingatkan bahwa pemikiran yang diangkat ke permukaan—melalui sketsa, kalimat pendek, atau penjelasan lisan—memberi kita data lebih kaya daripada sekadar jawaban akhir. Minta satu kalimat “mengapa”, satu panah pada gambar, atau satu contoh yang mendukung. Langkah kecil ini menyelamatkan banyak keputusan dari sekadar menebak.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Tujuan berarti menautkan apa yang kita dengar dengan arah pelajaran hari itu. Ucapkan satu kalimat tujuan di kepala (atau dengan suara jernih): “Hari ini inti kita adalah menghubungkan dua cara dengan alasan yang sama.” Begitu tujuan kembali fokus, banyak godaan mikro bisa ditolak. Misalnya, ketika siswa minta “rumus cepatnya saja”, kita ingat bahwa targetnya adalah alasan, bukan kecepatan. Goodwin dalam The New Classroom Instruction That Works (2023) menekankan pentingnya mengerjakan sedikit hal yang paling berdampak secara konsisten; mengembalikan perhatian ke tujuan adalah salah satunya.
Opsi berarti memilih satu gerak singkat yang mendorong penalaran tanpa menggendong. Di sinilah gudang “rutinitas bernalar” berguna. Kelemanik, Lucenta, dan Creighton dalam Routines for Reasoning (2017) menawarkan pola mikro seperti Say It–Draw It–Defend It atau Compare–Connect yang bisa disisipkan dalam hitungan menit. Jika dua kelompok berselisih, undang mereka menempelkan cara di papan, lalu ajak kelas mencari apa yang sama dan apa yang berbeda tetapi tidak mengubah kebenaran. Jika satu siswa buntu, minta ia menggambar ulang dengan menandai “apa yang tetap” dulu. Opsi-opsi kecil seperti ini menyalakan mesin ide tanpa memadamkan rasa memiliki siswa terhadap solusi mereka.
Putuskan adalah saat kita mengeksekusi satu opsi dan memasang “jangkar pemantauan”. Katakan dengan singkat apa yang akan terjadi tiga menit ke depan, dan indikator apa yang ingin kita lihat. Horn dalam Motivated (2017) menunjukkan bahwa kejelasan alur dan peran meningkatkan partisipasi yang bermakna. Kita bisa berkata, “Tiga menit, dua cara ditempel, satu kalimat yang menyatukan. Setelah itu kita pilih kalimat terbaik untuk jadi rangkuman.” Jelas, ringkas, melaju.
Apa yang perlu dihindari dalam 30 detik? Dua kebiasaan paling mahal adalah menyelamatkan terlalu cepat dan menghakimi terlalu cepat. Menyelamatkan terlalu cepat membuat siswa belajar menunggu “kunci” dari guru; menghakimi terlalu cepat membuat ide kerdil sebelum sempat tumbuh. Kerangka STOP memaksa kita menunda sedikit keduanya: dengarkan dulu, kembalikan ke tujuan, pilih gerak yang mendorong, lalu putuskan dan pantau.
Kerangka mikro ini juga membantu saat kelas “memanas”. Bayangkan perdebatan tentang apakah semua belah ketupat adalah persegi. Simak argumen inti kedua pihak; tegaskan tujuan kita soal mendefinisikan syarat; pilih opsi Compare–Connect agar mereka mencari syarat yang menuntaskan; putuskan alur tiga menit dan siapa yang merangkum. Sering kali, begitu struktur dibentangkan, suhu turun sendiri. Dan jika perlu, selipkan humor pendek untuk menjaga bahu tetap turun: “Tarik napas, ini bukan sidang skripsi, ini bengkel argumen.”
Bagaimana kita belajar membuat keputusan 30 detik yang makin tajam dari waktu ke waktu? Dua kebiasaan sederhana. Pertama, catatan kecil pasca-aksi. Seusai kelas, tulis tiga baris: “Apa yang saya simak? Tujuan apa yang saya tegaskan? Opsi apa yang saya ambil, bagaimana dampaknya?” Kebiasaan refleksi ini diulas indah oleh Donald Schön dalam karya klasik The Reflective Practitioner (1983): profesional tumbuh karena reflection-in-action dan reflection-on-action. Kedua, inventaris opsi pribadi. Kumpulkan 5–7 gerak mini favorit Anda—misalnya “dua cara satu jawaban”, “apa yang tetap–apa yang berubah”, “gambar dulu, alasan kemudian”—lalu latih kalimat pemicunya. Semakin siap daftar kecil itu, semakin cepat kita bergerak tanpa kehilangan makna.
Anda mungkin bertanya, “Apakah 30 detik cukup?” Cukup untuk mengubah arah. Kita tidak menyelesaikan semuanya dalam setengah menit, tetapi kita bisa memastikan langkah kecil mengarah ke tujuan besar. Ritchhart dan Church mengingatkan bahwa jejak pemikiran yang terlihat membuat intervensi lebih akurat. Goodwin menekankan disiplin memilih langkah berdampak tinggi. Kelemanik dan kolega memberi kita rutinitas yang bisa dipanggil cepat. Horn mengingatkan pentingnya alur peran agar semua mau terlibat. Disatukan oleh Schön, semua itu menjadi praktik reflektif yang teruji di lapangan.
Keputusan 30 detik adalah seni meramu kopi di tengah keramaian. Air tidak boleh terlalu panas, bubuk jangan kebanyakan, dan cangkir harus siap. Dengan STOP—Simak, Tujuan, Opsi, Putuskan—kita punya resep yang sederhana tetapi tangguh. Kelas bergerak, ide terangkat, dan belajar terasa lebih manusiawi. Dan kalau sesekali ragu, ingat saja: kopi boleh dingin, tetapi keputusan jangan panas. Simak dulu, baru melaju. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Isbadar Nursit, S.Pd., M.Pd Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
Apa Reaksi Anda?