Setiap Anak Punya Jalan Masuk ke Matematika

“Keadilan tugas bukan menurunkan tantangan agar semua terasa mudah, melainkan memperbanyak pintu dan meninggikan langit agar setiap anak bisa mulai dari tempatnya dan tumbuh setinggi kemampuannya”

Desember 10, 2025 - 15:30
Setiap Anak Punya Jalan Masuk ke Matematika

MALANG “Keadilan tugas bukan menurunkan tantangan agar semua terasa mudah, melainkan memperbanyak pintu dan meninggikan langit agar setiap anak bisa mulai dari tempatnya dan tumbuh setinggi kemampuannya”

Bayangkan sekolah seperti sebuah taman kota yang indah. Taman itu baru terasa “milik semua orang” jika pintu masuknya banyak, jalurnya ramah, dan siapa pun yang sudah di dalam bisa memilih berjalan santai atau berlari jauh. Begitu pula dengan pelajaran matematika. Keadilan bukan sekadar soal nilai di raport, melainkan soal bagaimana kita merancang tugas yang memberi jalan masuk bagi semua anak, lalu menyediakan ruang luas bagi yang ingin terbang lebih tinggi. Inilah ide sederhana namun kuat: tugas berlantai rendah dan berplafon tinggi.

Apa artinya “lantai rendah”. Anak dapat mulai tanpa menunggu rumus khusus. Ia boleh menggambar, menyusun, memperkirakan, atau menceritakan. Apa artinya “plafon tinggi”. Tugas yang sama tetap membuka ruang untuk melangkah jauh: membandingkan cara, menyusun alasan, menggeneralisasi pola, bahkan menulis bukti ringan. Dengan begitu, kelas tidak tersaring oleh kecepatan atau gaya tunggal; kelas justru menampung beragam jalur menuju ide yang sama.

Contoh sederhana: topik luas. Jalan masuknya bisa sesederhana menutup bangun dengan potongan kertas kotak dan menghitung. Setelah itu plafon kita naikkan: minta dua cara berbeda untuk bangun yang sama, lalu tanyakan mengapa keduanya memberi hasil yang sama. Ajak mereka menamai apa yang tetap dan apa yang berubah ketika bentuknya diubah. Sebagian siswa berhenti pada hitungan rapi. Sebagian naik ke alasan dan generalisasi. Semua merasa “punya jalan”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Agar desain seperti ini konsisten, kita butuh beberapa pegangan. Pertama, kualitas tujuan. Schoenfeld, dalam kerangka Teaching for Robust Understanding (2018), mengingatkan bahwa tugas bernilai tinggi menuntut penalaran, menyediakan akses nyata, memupuk identitas dan agensi siswa, serta menghubungkan ide. Maka di awal pelajaran, tulis satu kalimat tujuan yang terang: “Hari ini kita mencari beberapa jalan untuk satu jawaban, lalu menulis alasan yang menyatukannya.” Siswa pun tahu tiket masuknya adalah argumen, bukan sekadar angka.

Kedua, banyak cara untuk terlibat. Pedoman Universal Design for Learning dari CAST (2022) menekankan ragam cara mengakses dan mengekspresikan ide. Dalam matematika, itu berarti membiarkan jawaban sementara hadir sebagai sketsa beranotasi, tabel kecil, atau argumen lisan sebelum dirapikan jadi simbol. Kita bukan menurunkan standar; kita membuka jalur. Jika ada anak yang ingin memulai dari manipulatif atau konteks cerita, biarkan ia masuk dari pintunya sendiri.

Ketiga, tantangan yang “mendorong”, bukan “menggendong”. Peter Sullivan (2018) merangkum riset tentang tugas menantang yang tetap aman dijajaki. Kuncinya adalah petunjuk kecil yang menyorot struktur, bukan langkah jadi. Alih-alih memberi resep, ajukan pertanyaan seperti, “Jika angka ini berubah, bagian mana yang tetap?” atau “Dapatkah kamu menemukan dua representasi yang setara?” Dengan begitu, plafon tetap tinggi tanpa menutup pintu.

Keempat, budaya yang menumbuhkan nyali belajar. Jo Boaler dalam Limitless Mind (2019) mengingatkan bahwa kecepatan bukan ukuran kecerdasan matematika. Gantilah kompetisi “siapa paling cepat” menjadi momen “dua cara satu jawaban”. Ketika seorang murid mengeluh, “Pak, saya lambat,” saya biasa menimpali, “Di kelas ini kita tidak lomba lari, kita lomba alasan.” Tawa kecil muncul, bahu turun, dan pikiran siap bekerja lagi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Bagaimana wujudnya pada pola bilangan. Jalan masuknya: lanjutkan pola gambar atau tabel. Mereka yang sudah siap boleh melompat ke representasi aljabar, membuktikan mengapa rumus yang lahir memang bekerja untuk n yang mana pun. Di akhir, pajang beberapa karya berdampingan dan tanyakan: apa yang sama di semua cara, apa yang berbeda tetapi tidak mengubah kebenaran. Rangkuman guru menamai invarian yang muncul. Anak melihat dengan mata sendiri bahwa banyak jalan memang menuju ide yang sama.

Penutup juga harus adil. Minta tiket keluar satu kalimat: “Alasan apa yang paling membantu saya hari ini?” atau “Apa yang tetap ketika angkanya diubah?” Pertanyaan kecil ini menyulam kembali pengalaman menjadi makna. Besok, saat bentuk soal berganti baju, anak punya kompas, bukan hanya hafalan.

Tentu ada yang khawatir, “Apakah ini memakan waktu?” Di awal, ya, karena kita belajar menata panggung baru. Namun biasanya remedi berkurang. Siswa yang telah menemukan jalannya sendiri lebih jarang buntu. Kita juga punya bukti belajar yang lebih kaya ketimbang skor tunggal. Di titik ini, bijak rasanya menoleh ke buku klasik. George Polya, dalam How to Solve It (1945), sudah lama memberi resep: mulai dari masalah yang bisa disentuh, rencanakan, coba, dan tinjau. Bahasa kita mungkin berbeda, tetapi rohnya sama. Kita sedang merancang tugas yang mengundang semua masuk, lalu mendorong sejauh mereka mau melangkah.

Jika ada satu kalimat yang ingin saya titipkan, ini dia: keadilan tugas bukan menurunkan tantangan agar semua terasa mudah, melainkan memperbanyak pintu dan meninggikan langit agar setiap anak bisa mulai dari tempatnya dan tumbuh setinggi kemampuannya. Dan jika kelas mulai tergoda mengejar jawaban cepat, selipkan humor kecil: “Tenang, kalkulator tidak cemburu kalau kalian sibuk memikirkan mengapa.” Biasanya senyum muncul, dan jalan masuk ke matematika pun terasa lebih dekat bagi semua. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Isbadar Nursit, S.Pd., M.Pd Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow